Media Bawean, 21 April 2008
GASASAN : Oleh Baharuddin, SH.MH.
Bulan pebruari yang lalu, Bawean 'panen' musibah. Tanah longsor meluluh lantakkan kampung Candi di Kecamatan Tambak dan kampung Laok Sabe di Kecamatan Sangkapura Bawean. Kedua kampung itu berdekatan. Terletak disekitar danau Kastoba.
Kampung Laok Sabe lenyap bak ditelan bumi. Tidak ada korban jiwa. Musibah tersebut terjadi pada siag hari. Tapi tidak kurang dari 100 rumah rusak berat. Separuhnya tertimbun tanah. Puluhan sapi terkubur.
Pertanyaan. "Kenapa musibah itu terjadi begitu tiba-tiba? Pendapat yang beredar, danau kastoba murka. Tetapi kejadian itu sangat bisa dinalar. Hutan didaerah tersebut habis dibabat lalu menjadi gundul dan hal ini dapat dilihat dengan mata telanjang. Sebagaimana pada manusia, pohon tak ubahnya tulang dan urat.
Luas hutan di Pulau Bawean 20.969 ha tediri dari hutan lindung 4.550 ha. cagar alam 750 ha, hutan rakyat 10.419 ha terdiri dari tegalan dan perkarangan. Sisanya 5.000 ha adalah sawah. Semula hutan lindung -seluas 3.800 ha setelah dikurangi cagar alam yang 750 ha- adalah termasuk hutan produksi, yang kemudian ditetapkan sebagai hutan marga satwa. Penetapan tersebut terjadi pada tahun 1979. Tetapi realisasinya baru dilaksanakan tahun 1992.
Nah, dalam tenggang waktu 12 tahun tersebut telah dilakukan penebangan secara sporadis dan membabi buta oleh sejumlah oknum. Masyarakat Bawean bukannya tidak protes, tetapi yang dihadapi adalah suatu 'barisan' yang sudah sistemik. Dalam suatu acara penyuluhan di pendopo desa Daun yang diadakan oleh dinas Lingkungan Hidup Propinsi Jawa Timur pada tahun 1990an. Kemas Arfa, warga Sidogedungbatu mengatakan bahwa : "Jika pemerintah serius untuk melestarikan hutan, mari kita tangkap bersama. Pencurinya ada didalam ruangan ini,". Pertemuan tersebut juga dihadiri pejabat Muspika dan Kepala Kehutanan Bawean. Usulan Kemas Arfa tersebut tidak mendapat apresiasi.
Kini hutan produksi yang pohon jatinya telah habis ditebang itu sudah menjadi hutan suaka marga satwa sudah berada dibawah instansi konservasi sumberdaya alam. Tapi penebangan masih tetap beralanjut pada hutan rakyat. Bukan hanya pada kayu jati, tapi pada kayu apa saja, setiap hari puluhan mesin potong meraung-raung tanpa henti.
Hal itu terjadi karena Perda yang membolehkan kayu rimba ditebang asalkan bayar retribusi. Jadi Pemkab Gresik termasuk dalang pengrusakan hutan di Bawean. Pertanyaan mengemuka, mana yang lebih besar antara PAD (Pendapatan asli Daerah ) dan nilai kerugian yang ditimbulkan?.
Saya punya gagasan, agar Pemkab melarang penebangan kayu -kecuali kayu jati- untuk dijual ke luar Pulau Bawean. Tanpa itu 10 tahun kedepan Bawean akan benar-benar menjadi gurun pasir dan panen musibah akan sering terjadi.
(Bahruddin : Temurrojing Bawean)
GASASAN : Oleh Baharuddin, SH.MH.
Bulan pebruari yang lalu, Bawean 'panen' musibah. Tanah longsor meluluh lantakkan kampung Candi di Kecamatan Tambak dan kampung Laok Sabe di Kecamatan Sangkapura Bawean. Kedua kampung itu berdekatan. Terletak disekitar danau Kastoba.
Kampung Laok Sabe lenyap bak ditelan bumi. Tidak ada korban jiwa. Musibah tersebut terjadi pada siag hari. Tapi tidak kurang dari 100 rumah rusak berat. Separuhnya tertimbun tanah. Puluhan sapi terkubur.
Pertanyaan. "Kenapa musibah itu terjadi begitu tiba-tiba? Pendapat yang beredar, danau kastoba murka. Tetapi kejadian itu sangat bisa dinalar. Hutan didaerah tersebut habis dibabat lalu menjadi gundul dan hal ini dapat dilihat dengan mata telanjang. Sebagaimana pada manusia, pohon tak ubahnya tulang dan urat.
Luas hutan di Pulau Bawean 20.969 ha tediri dari hutan lindung 4.550 ha. cagar alam 750 ha, hutan rakyat 10.419 ha terdiri dari tegalan dan perkarangan. Sisanya 5.000 ha adalah sawah. Semula hutan lindung -seluas 3.800 ha setelah dikurangi cagar alam yang 750 ha- adalah termasuk hutan produksi, yang kemudian ditetapkan sebagai hutan marga satwa. Penetapan tersebut terjadi pada tahun 1979. Tetapi realisasinya baru dilaksanakan tahun 1992.
Nah, dalam tenggang waktu 12 tahun tersebut telah dilakukan penebangan secara sporadis dan membabi buta oleh sejumlah oknum. Masyarakat Bawean bukannya tidak protes, tetapi yang dihadapi adalah suatu 'barisan' yang sudah sistemik. Dalam suatu acara penyuluhan di pendopo desa Daun yang diadakan oleh dinas Lingkungan Hidup Propinsi Jawa Timur pada tahun 1990an. Kemas Arfa, warga Sidogedungbatu mengatakan bahwa : "Jika pemerintah serius untuk melestarikan hutan, mari kita tangkap bersama. Pencurinya ada didalam ruangan ini,". Pertemuan tersebut juga dihadiri pejabat Muspika dan Kepala Kehutanan Bawean. Usulan Kemas Arfa tersebut tidak mendapat apresiasi.
Kini hutan produksi yang pohon jatinya telah habis ditebang itu sudah menjadi hutan suaka marga satwa sudah berada dibawah instansi konservasi sumberdaya alam. Tapi penebangan masih tetap beralanjut pada hutan rakyat. Bukan hanya pada kayu jati, tapi pada kayu apa saja, setiap hari puluhan mesin potong meraung-raung tanpa henti.
Hal itu terjadi karena Perda yang membolehkan kayu rimba ditebang asalkan bayar retribusi. Jadi Pemkab Gresik termasuk dalang pengrusakan hutan di Bawean. Pertanyaan mengemuka, mana yang lebih besar antara PAD (Pendapatan asli Daerah ) dan nilai kerugian yang ditimbulkan?.
Saya punya gagasan, agar Pemkab melarang penebangan kayu -kecuali kayu jati- untuk dijual ke luar Pulau Bawean. Tanpa itu 10 tahun kedepan Bawean akan benar-benar menjadi gurun pasir dan panen musibah akan sering terjadi.
(Bahruddin : Temurrojing Bawean)
No comments:
Post a Comment