Saturday, 3 May 2008

KORUPSI APBD

Media Bawean, 4 Mei 2008
Oleh : Musyayana

Anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) atau yang sering diistilakan dengan anggaran publik, pada dasarnya didapat dan dikumpulkan dari pajak dan retribusi. Pengumpulan dari pajak daerah seperti pajak bumi bangunan, pajak pembelian barang-barang, mulai barang-barang dapur, pakaian, alat rumah tangga hingga TV, sepeda maupun mobil, makan diwarung kini dikena pajak, belum lagi pajak listrik, PDAM, dan pajak-pajak lainnya. Sedangkan penarikan retribusi seperti retribusi parkir, peron di terminal, retribusi angkutan kota setiap masuk terminal harus bayar dan retribusi pedagang di pasar yang setiap hari ditarik karcis oleh petugas pasar, dan retribusi kebersihan. Dengan kata lain bahawa setiap aktivitas masyarakat dikenai pajak oleh penguasa (pemerintah). Pembebanan pajak dan retribusi kepada rakyat merupakan konsekuensi logis dengan adanya kesepakatan mendirikan sebuah negara. Filosofinya adalah untuk membiayai kegiatan negara dan pemerintahan. Yang menjadi ironis adalah, ketika pajak dan retribusi yang disetor oleh rakyat disalahgunakan dan diselewengkan oleh aparat pemerintah maupun pejabat negara.

Pada dasarnya substansi APBD merupakan wujud komitmen politik dari para penyelenggara negara di daerah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Selain itu APBD merupakan bentuk nyata dari hubungan sosial atau kontrak sosial antara kekuasaan (orang yang mempunyai kuasa atau wewenang) untuk membuat dan menentukan keputusan politik dan kebijakan politik dengan rakyat.

Dalam konteks perencanaan, penyusunan, pelaksanaan hingga evaluasi dan pertanggungjawaban dari APBD yang terjadi saat ini, rakyat tidak perna dilibatkan, rakyat hanya punya daulat tetapi tidak punya kuasa dan kewenangan untuk menjalankan. Karena rakyat hanya dijadikan obyek dari keputusan politik yang dibuat oleh penguasa (legislatif dan eksekutif) dalam setiap rumusan dan membuat kebijakan hanyalah menurut paradigma kekuasaan dan kepentingan kekuasaan, atau yang sekarang terjadi adalah melalui mekanisme partisipasi yang dipaksakansebagai kata lain dari “partisipasi yang terpimpin”. Akibatnya rakyat tidak punya pilihan lain untuk memilih, karena adanya situasi yang dibangun oleh penguasa agar seolah-olah rakyat sangat membutuhkan fasilitas dari dana APBD. Kondisi ini sangat dipahami oleh penguasa ketika rakyat pada kondisi tidak tahu, terdesak, takut dan merasa butuh akan fasilitas maka penguasa datang memberikan” bantuannya”. Padahal perilaku penguasa tersebut sangat salah kaprah. Logika yang benar adalah rakyat membayar pajak dan retribusi sedangkan pemerintah berkewajiban memberikan pelayanan kepada rakyat dengan baik. Ini konsekuensi politik dalam membangun negara dan menciptakan tatanan masyarakat yang adil dan sejahtera. Posisi penguasa sebagai mitra rakyat bukan sebagai raja, karena yang kita bangun saat ini adalah tatanan yang demokratis bukan teknokrat.

APBD yang mempunyai substansi sebagai power relation yang diartikan sebagai hubungan antara rakyat dan penguasa, ternyata dalam banyak kasus tidak dapat terjadi, karenan yang terjadi malah sebaliknya yaitu hubungan kekuasaan legislatif dengan eksekutif, dan elit eksekutif dengan dengan bawahannya; bisa dinas, badan, kantor atau bahkan orang perorang yang sedang menjabat. Realitas ini sangat paradoks dengan esensi power relation antara penguasa dan rakyat. Rakyat didesain untuk selalu setuju dengan kebijakan-kebijakan politik penguasa dan menjadikannya legitimasi bagi penguasa. Selain itu, tidak adanya keterlibatan rakyat juga disebabkan karena mereka tidak cukup banyak informasi yang didapat tentang APBD.

Realitas inilah yang kemudian dapat mendistorsi makna yang terkandung dalam power relation, bahwa APBD merupakan bentuk nyata dari komitmen politik yang dibuat oleh para elite penyelenggara negara di daerah. Banyaknya pendistorsian mengenai esensi dasar APBD telah membuka ruang yang cukup luas potensi korupsi APBD. Terjadinya korupsi dalam APBD sebenarnya telah dimulai dari proses perencanaan, yaitu ketika menentukan besarnya Pendapatan Asli Daerah (PAD), disini sangat mungkin terjadi “mark down” angka target PAD, yang seharusnya PAD bisa mencapai 40 Milyar, bisa saja hanya ditetapkan menjadi 30 Milyar. Ini bisa terjadi karena rakyat tidak perna dilibatkan dari awal perencanaan.

Sedangkan, contoh dalam sisi pelaksanaan seperti pengadaan barang-barang. Mulai pengadaan alat tulis dan peralatan kantor, mobil dan prasarana lainnya yang hampir setiap saat ada proyek pengadaan barang. Namun pada sisi yang lain nyaris tidak pernah diumumkan tentang aset kekayaan pemerintah, misalnya punya berapa kursi-meja, komputer dan mobil berapa dan nilai penyusutannya per tahun berapa, punya berapa aset yang berupa tanah dan bangunan dan jika dinominalkan menjadi uang berapa. Serta berapa banyak stelan baju bupati, wakil bupati dan anggota DPRD serta harga belinya berapa dan berapa lama dipakai. Ini semua harus diumumkan kepada publik karena yang mereka pakai adalah uang publik (APBD) yang ditarik dari pajak dan retribusi. Jadi bagi mereka yang menjadi pejabat publik mulai dari biaya makan, baju, transportasi dan segalanya yang berurusan dengan jabatannya adalah berasal dari pajak dan retribusi. Kalau ini tidak diumumkan maka peluang terjadinya korupsi akan besar, kerena realitas APBD saat ini mulai perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan bahkan pertanggungjawabannya tidak pernah melibatkan rakyat. Padahal rakyat punya daulat atas APBD.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Kajian Anggaran Responsif Gender (LeKRaR – Gender) Gresik, menggambarkan bahwa peran masyarakat sangat minim dan masih didominasi oleh peran-peran penyelenggara negara.

No. Keterangan Persen (%)
1. Tahu tentang APBD 38 %
2. Tidak tahu tentang APBD 62 %
TOTAL 100 %

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa masyarakat yang tahu tentang APBD hanya 38 persen dan yang menyebutkan tidak paham tentang APBD sebanyak 62 persen. Ketidak tahuan mereka karena tidak ada upaya pemerintah memberikan informasi tentang kebijakan yang dikeluarkan. Kemudian dari yang menyatakan tahu tentang APBD yang terlibat dalam penyusunan APBD hanya 5 %, dan sebagian besar dari mereka tidak terlibat dalam penyusunan APBD yaitu 95 %

No. Keterangan Persen (%)
1. Terlibat dalam penyusunan APBD 5 %
2. Tidak terlibat dalam penyusunan APBD 95 %
TOTAL 100 %

Performa politik anggaran di Gresik dangat sarat dengan kepentingan politik sehingga banyak menimbulkan distorsi-distorsi dalam penyusunan, pelaksanaan, maupun pengawasan dan pertanggungjawabannya. Dalam penyusunan anggaran publik di Gresik, keterlibatan aktor-aktor tertentu sangatlah dominan dan sangatlah mampu melakukan intervensi untuk melakukan perubahan-perubahan kebijakan dalam rangka merealisasikan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Sedangkan aktor yang paling berpengaruh selain pemerintah (eksekutif-legislatif) adalah para pemodal yang didukung pers dan tokoh masyarakat. Kepentingan dalam hal ini sangat jelas, kebijakan anggaran publik dipaksa menyesuaikan dengan agenda bisnis atau proyek yang akan atau sedang dikerjakan oleh pemodal. Dan lebih parah lagi item-item proyek yang dianggarkan dalam anggaran publik disediakan untuk dilaksanakan oleh para pemodal. Realitas ini sering terjadi karena para pemodal banyak membiayai money politic para penguasa untuk mendapatkan kekuasaan. Selain itu, keterlibatan para pejabat strktural dan tokoh masyarakat semakin menegaskan bahwa proses hegemoni sosial selalu terjadi dalam penyusunan kebijakan anggaran publik. Praktek hegmoni atas nasib rakyat adalah bentuk nyata dari pelaksanaan partsipasi yang sangat elitis, dimana kebijakan dibuat atas dasar kebutuhan pribiadi dan kelompok politiknya bukan atas dasar kebutuhan rakyat yang menjadi target dari kebijakan.

Model Keterlibatan Aktor dalam Penentuan Kebijakan
Aktor
Legislatif-eksekutif
Bentuk Distorsi
* Menjual kebijakan untuk kepentingan politik
* Anggaran hanya sebagai respon politik
* Anggaran dijadikan instrumen kepentingan politk tertentu
* Mark up/ mark down
Kepentingan
* Meminta dukungan dan pengamanan dalam rangka menjaga kekuasaannya.
* Mencari uang dalam rangka menjaga kekuasaannya

Aktor
Pasar (pemodal)
Bentuk Distorsi
Mempengaruhi legislatif-eksekutif agar kebijakan anggaran menguntungkan bisnisnya.
Kepentingan
* Pengerjaan proyek pembangunan dimonopoli
* Proyek-proyek yang dikerjakan tanpa tender.

Aktor
Partai Politik
Bentuk Distorsi
* Mempengaruhi legislatif
* Anggaran dijadikan instrumen kepentingan politik tertentu
Kepentingan
* Kepentingan politik dan keuangan partai secara langsung
* Bersekutu dengan pemodal untuk mendapatkan kentungan

Aktor
Pers
Bentuk Distorsi
Mempengaruhi opini publik
Kepentingan
* Untuk berlangsungnya usaha medianya
* Bersekutu dengan partai politik dan pemodal untuk saling menguntungkan.

Aktor
Masyarakat (tokoh)
Bentuk DistorsiMemberikan dukungan secara parsial dan sepihak.
Kepentingan
* Untuk kepentingan pribadi
* Menjaga kepentingan orang-orang tertentu baik pemodal maupun tokoh politik.

Realitas diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam proses penyusunan anggaran publik di Kabupaten Gresik tidak transparan, tidak partisipatif (tidak banyak melibatkan komunitas), mekanismenya sangat formalistik, tidak komunikatif dan cenderung satu arah, dan sangat strukturalis-birokratis.
“ AWAS BAHAYA LATEN KORUPSI APBD !!

Penulis dapat dihubungi di e-mail : youth_gerwani@yahoo.com

No comments:

Post a Comment