Media Bawean, 22 Mei 2008
(Mahasiswa Asal Bawean)
Bulan mei 2008 ini adalah bulan yang bersejarah bagi bangsa Indonesia. Karena di bulan mei ini, tepatnya pada tanggal 20 mei 2008 bangsa Indonesia memperingati genap 100 tahun kebangkitan nasional. Pada bulan yang sama, tepatnya pada 2 mei 2008 yang lalu, bangsa ini juga memperingati hari pendidikan nasional(Hardiknas). Tak mengherankan bila di hampir setiap sekolah di tanah air banyak terpampang spanduk yang mengaitkan antara kemajuan pendidikan nasional sebagai bagian dari kebangkitan nasional. "Mari wujudkan pendidikan yang berkualitas sebagai bagian dari 100 tahun kebangkitan nasional". Begitu kira-kira isi spanduknya.
Bagi saya pribadi sebagai seorang pendidik, tulisan di spanduk itu memiliki makna yang sangat dalam. Saya menyadari sepenuhnya bahwa antara hari pendidikan nasional dan hari kebangkitan nasional memiliki keterkaitan yang sangat erat. Ini bukan karena keduanya memiliki singkatan yang mirip (Hardiknas dan Harkitnas), bukan pula karena keduanya diperingati pada bulan yang sama, akan tetapi karena memang pendidikan merupakan pintu gerbang awal lahirnya gerakan kebangkitan nasional. Pendapat ini bukan tanpa alasan, melainkan memiliki catatan sejarah yang cukup panjang. Tak bisa di pungkiri, gagasan tentang usaha untuk mewujudkan cita-cita mulia mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia yang saat itu hidup penuh nestapa dan penindasan muncul dari golongan kaum terdidik/terpelajar (intelegensia) saat itu. Yaitu para siswa siswa sekolah dokter jawa pada zaman Belanda yang bernama STOVIA (school tot opleiding Indische) yang berarti: sekolah untuk mendidik dokter-dokter pribumi. Dari gagasan cemerlang dan cita-cita mulia inilah kemudian para kaum terdidik itu, dengan di pelopori oleh Dr. Wahidin Sudiro Husodo dan di motori oleh Sutomo pada 20 mei 1908 mendirikan organisasi Budi Utomo. Lahirnya organisasi Budi Utomo ini menandakan awal kebangkitan rasa nasionalisme yang tinggi di kalangan para pemuda Indonesia yang terdidik pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya, untuk berjuang mewujudkan bangsa Indonesia yang terhormat, bermartabat, dan bebas dari penjajahan. Karena itulah, hari lahirnya Budi Utomo diperingati sebagai hari kebangkitan nasional (Harkitnas).
Gagasan besar yang melahirkan organisasi modern pertama di Indonesia bernama Budi Utomo ini muncul dari pemikiran kaum terpelajar, bukan berarti saya hendak menafikan peranan para kaum yang tak terpelajar/non intelegensia (rakyat kebanyakan yang bukan dari kalangan ningrat atau priyayi yang pada masa itu tidak memiliki kesempatan bersekolah). Sejarah mencatat bahwa jauh sebelum lahirnya organisasi modern seperti Budi Utomo telah muncul perlawanan-perlawanan dari rakyat Indonesia dalam usahanya untuk meraih kemerdekaan. Akan tetapi, perlawanan mereka bersifat sporadis dan tidak terorganisasi dengan baik. Karena itu, pada umumnya perlawanan mereka berbentuk perlawanan fisik dan kontak senjata, serta taktik tang hanya bertujuan untuk melumpuhkan kekuatan fisik lawan saja. Perlawanan seperti ini menimbulkan korban jiwa yang tak sedikit. Inilah yang membedakan antara kaum terpelajar(intelegensia) dengan kaum tak terplajar(non intelegensia) : dari kerangka berpikir.
Para kaum intelegensia, yang secara teoritis diajarkan untuk berpikir secara logis dan terstruktur, pada umumnya mereka lebilh sistematis dan terencana dalam melakukan sesuatu dan umumnya pula mereka lebih senang menggunakan pemikiran (ideologi) daripada perlawanan dalam bentuk fisik. Karena alasan itulah organisasi mereka di sebut organisasi modern, yang telah terstruktur dengan baik, baik dari segi visi misi, managemen, fungsional serta job description yang jelas. Keduanya, para pejuang tradisional maupun para pejuang modern, sebagai perintis kemerdekaan nasional memiliki cita-cita dan tujuan yang sama: mengangkat derajat dan martabat bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Hanya saja, cara yang di tempuh keduanya untuk mewujudkan cita-cita dan mencapai tujuan yang diharapkan sangatlah berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh kerangka berpikir keduanya berbeda, yang pertama cara berpikirnya masih pola primitive (konvensional), sedangkan yang kedua telah sistematis karena telah mengalami pencerahan pemikiran(rausyan fikr). Pencerahan pemikiran inilah yang menyebabkan pola perlawanan mereka telah terpola dengan baik dan bukan lagi kontak fisik, melainkan berupa ideologi,atau ide-ide cemerlang yang di pertegas dalam diskusi/forum pertemuan yang rutin mereka lakukan.
Begitulah bagaimana pendidikan berpengaruh membentuk pola pikir seseorang. Karena itu, tak berlebihan kiranya apabila dikatakan, untuk membuat suatu perubahan besar di negeri ini, maka harus dimulai dengan memperbaiki sistem pendidikannya, mulai dari pendidikan yang paling dasar. Karena pendidikan berperan sangat penting dalam mencetak generasi-generasi masa depan yang memiliki pandangan jauh(visioner) dan jug a ide-ide cemerlang. Ini terindikasi dari munculnya semangat kebangkitan nasional yang digagas para kaum intelegensia 100 tahun yang lalu.
Pendidikan memiliki peranan sangat penting dalam membentuk moral dan karakter membangun (character building) anak bangsa. Melalui tangan para pendidik (guru)lah, tanggung jawab yang berat itu dimulai. Karena para guru yang membentuk moral dasar generasi bangsa ini, maka sebelum itu, tentulah para pendidik (guru) itu harus terlebih dahulu membenahi moral-moral mereka sendiri. Karena seorang guru itu menjadi panutan (digugu dan ditiru) oleh muridnya.Sebagaimana kata olrang bijak, guru kencing berdiri murid kencing berlari, ini menjelaskan kepada kita bahwa ketika mental dan moral para pendidik itu rusak, jangan heran jika mental dan moral generasi hasil didikannya lebih bobrok lagi. Benarlah apa yang dikatakan oleh bapak pendidikan nasional kita, Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau yang lebih kita kenal dengan nama Ki Hajar Dewantara (lahir 2 mei 1889) dalam semboyan-semboyannya : Tut wuri Handayani (yang artinya, dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan), Ing Madya Mangun Karsa (yang artinya ditengah-tengah muridnya seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan), serta Ing Ngarso sung tulodo (yang artinya di depan seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh yang baik). Semboyan-semboyan ini inilah yang sampai saat ini masih terus digunakan sebagai pedoman moral dalaml dunia pendidikan kita.
Hujjatul islam imam al-Ghazali dalam karyanya yang monumental Ihya’ Ulumuddin menerangkan bahwa tugas seorang guru diantaranya adalah : pertama, menunjukkan kalsih sayang kepada pelajar/murid dan menganggapnya anak sendiri. Kedua, memberi nasihat dengan sindiran yang lemah lembut bukan dengan kekerasan. Ketiga, menasehati pelajar agar tidak menunda-nunda belajar dan mempelajari ilmu yang terang dengan sungguh-sungguh terlebih dahulu sebelum belajar ilmu yang tersembunyi (yang dapat merusak aqidah) dan yang keempat, tidak mengharapkan upah atas ilmu yang di ajarkannya. Hal ini sesuai dengan sabda Rasul saw. "Janganlah kamu meminta upah atas pengajaran" (H.R.Bukhari Muslim). Ini bermakna bahwa dalam mengajar, seorang guru harus ikhlas. Bukan karena mengharapkan upah(honor).
Keikhlasan dalam mengajar adalah mutlak bagi seorang guru. Mengajar untuk memperoleh upah(honor) bertentangan dengan etika guru itul sendiri. Akan tetapi, guru juga punya kewajiban untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya , karena itu, agar terwujud instansi pendidikan yang bersih perlu adanya korelasi positif dan human sensibility yang kuat antara semua pihak yang memakai jasa guru. Korelasi positif yang dimaksud disini adalah, kita semua harus menghargai jasa seorang guru, dengan memberikan hak-hak guru dengan semestinya seperti : gaji yang layak, tunjangan yang sesuai serta kesejahteraan yang terjamin sehingga guru dapat melaksanakan kewajibannya (mendidik) dengan sebaik-baiknya tanpa harus mempertimbangkan lagi persoalan materi (gaji).
Pahlawan tanpa tanda jasa, begitulah sebutan untuk para guru.Sebutan tersebut bukan bermakna bahwa jasa guru tidak perlu lagi kita hargai, melainkan bermakna bahwa apapun cara yang kita lakukan untuk menghargai jasa seorang guru yang telah mendidik dan mentransfer kita dengan ilmu itu tidak akan pernah bisa membalas jasanya. Karena yang diberikan guru kepada kita adalah illmu, dan ilmu tak ternilai harganya.
Walaupun jasa guru takkan pernah terbayar dengan materi, bukan berarti lantas kita mengabaikan jasa mereka. Guru juga manusia, mereka butuh pengakuan bahwa apa yang telah mereka lakukan sangat berarti untuk bangsa ini. Maka tepatlah kiranya bertepatan dengan bulan pendidikan nasional dan peringatan seabad kebangkitan nasional ini, semua pihak khususnya pemerintah sebagai penentu kebijakan yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan guru, berlomba-lomba memberikan penghargaan kepada para pendidik (guru) yang dianggap berjasa dalam mengembangkan pendidikan dan atelah membantu pemerintah dalam mensukseskan program pendidikan nasional.
Penghargaan tersebut tentunya sangat bermakna bagi guru sebagai sosok yang memiliki peran penting dalam dunia pendidikan yang merupakan pintu gerbang menuju terwujudnya generasi-generasi penerus bangsa yang tercerahkan. Karena itu, kita semua berharap, penghargaan tersebut bukanlah hanya sebuah rutinitas dan formalitas dalam memperingati hari pendidikan nasional ataupun satu abad kebangkitan nasional. Melainkan benar-benar sebentuk pengakuan bahwa memang para guru amemiliki andil besar dalam membuat perubahan penting di negeri ini.
Bulan mei 2008 ini adalah bulan yang bersejarah bagi bangsa Indonesia. Karena di bulan mei ini, tepatnya pada tanggal 20 mei 2008 bangsa Indonesia memperingati genap 100 tahun kebangkitan nasional. Pada bulan yang sama, tepatnya pada 2 mei 2008 yang lalu, bangsa ini juga memperingati hari pendidikan nasional(Hardiknas). Tak mengherankan bila di hampir setiap sekolah di tanah air banyak terpampang spanduk yang mengaitkan antara kemajuan pendidikan nasional sebagai bagian dari kebangkitan nasional. "Mari wujudkan pendidikan yang berkualitas sebagai bagian dari 100 tahun kebangkitan nasional". Begitu kira-kira isi spanduknya.
Bagi saya pribadi sebagai seorang pendidik, tulisan di spanduk itu memiliki makna yang sangat dalam. Saya menyadari sepenuhnya bahwa antara hari pendidikan nasional dan hari kebangkitan nasional memiliki keterkaitan yang sangat erat. Ini bukan karena keduanya memiliki singkatan yang mirip (Hardiknas dan Harkitnas), bukan pula karena keduanya diperingati pada bulan yang sama, akan tetapi karena memang pendidikan merupakan pintu gerbang awal lahirnya gerakan kebangkitan nasional. Pendapat ini bukan tanpa alasan, melainkan memiliki catatan sejarah yang cukup panjang. Tak bisa di pungkiri, gagasan tentang usaha untuk mewujudkan cita-cita mulia mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia yang saat itu hidup penuh nestapa dan penindasan muncul dari golongan kaum terdidik/terpelajar (intelegensia) saat itu. Yaitu para siswa siswa sekolah dokter jawa pada zaman Belanda yang bernama STOVIA (school tot opleiding Indische) yang berarti: sekolah untuk mendidik dokter-dokter pribumi. Dari gagasan cemerlang dan cita-cita mulia inilah kemudian para kaum terdidik itu, dengan di pelopori oleh Dr. Wahidin Sudiro Husodo dan di motori oleh Sutomo pada 20 mei 1908 mendirikan organisasi Budi Utomo. Lahirnya organisasi Budi Utomo ini menandakan awal kebangkitan rasa nasionalisme yang tinggi di kalangan para pemuda Indonesia yang terdidik pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya, untuk berjuang mewujudkan bangsa Indonesia yang terhormat, bermartabat, dan bebas dari penjajahan. Karena itulah, hari lahirnya Budi Utomo diperingati sebagai hari kebangkitan nasional (Harkitnas).
Gagasan besar yang melahirkan organisasi modern pertama di Indonesia bernama Budi Utomo ini muncul dari pemikiran kaum terpelajar, bukan berarti saya hendak menafikan peranan para kaum yang tak terpelajar/non intelegensia (rakyat kebanyakan yang bukan dari kalangan ningrat atau priyayi yang pada masa itu tidak memiliki kesempatan bersekolah). Sejarah mencatat bahwa jauh sebelum lahirnya organisasi modern seperti Budi Utomo telah muncul perlawanan-perlawanan dari rakyat Indonesia dalam usahanya untuk meraih kemerdekaan. Akan tetapi, perlawanan mereka bersifat sporadis dan tidak terorganisasi dengan baik. Karena itu, pada umumnya perlawanan mereka berbentuk perlawanan fisik dan kontak senjata, serta taktik tang hanya bertujuan untuk melumpuhkan kekuatan fisik lawan saja. Perlawanan seperti ini menimbulkan korban jiwa yang tak sedikit. Inilah yang membedakan antara kaum terpelajar(intelegensia) dengan kaum tak terplajar(non intelegensia) : dari kerangka berpikir.
Para kaum intelegensia, yang secara teoritis diajarkan untuk berpikir secara logis dan terstruktur, pada umumnya mereka lebilh sistematis dan terencana dalam melakukan sesuatu dan umumnya pula mereka lebih senang menggunakan pemikiran (ideologi) daripada perlawanan dalam bentuk fisik. Karena alasan itulah organisasi mereka di sebut organisasi modern, yang telah terstruktur dengan baik, baik dari segi visi misi, managemen, fungsional serta job description yang jelas. Keduanya, para pejuang tradisional maupun para pejuang modern, sebagai perintis kemerdekaan nasional memiliki cita-cita dan tujuan yang sama: mengangkat derajat dan martabat bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Hanya saja, cara yang di tempuh keduanya untuk mewujudkan cita-cita dan mencapai tujuan yang diharapkan sangatlah berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh kerangka berpikir keduanya berbeda, yang pertama cara berpikirnya masih pola primitive (konvensional), sedangkan yang kedua telah sistematis karena telah mengalami pencerahan pemikiran(rausyan fikr). Pencerahan pemikiran inilah yang menyebabkan pola perlawanan mereka telah terpola dengan baik dan bukan lagi kontak fisik, melainkan berupa ideologi,atau ide-ide cemerlang yang di pertegas dalam diskusi/forum pertemuan yang rutin mereka lakukan.
Begitulah bagaimana pendidikan berpengaruh membentuk pola pikir seseorang. Karena itu, tak berlebihan kiranya apabila dikatakan, untuk membuat suatu perubahan besar di negeri ini, maka harus dimulai dengan memperbaiki sistem pendidikannya, mulai dari pendidikan yang paling dasar. Karena pendidikan berperan sangat penting dalam mencetak generasi-generasi masa depan yang memiliki pandangan jauh(visioner) dan jug a ide-ide cemerlang. Ini terindikasi dari munculnya semangat kebangkitan nasional yang digagas para kaum intelegensia 100 tahun yang lalu.
Pendidikan memiliki peranan sangat penting dalam membentuk moral dan karakter membangun (character building) anak bangsa. Melalui tangan para pendidik (guru)lah, tanggung jawab yang berat itu dimulai. Karena para guru yang membentuk moral dasar generasi bangsa ini, maka sebelum itu, tentulah para pendidik (guru) itu harus terlebih dahulu membenahi moral-moral mereka sendiri. Karena seorang guru itu menjadi panutan (digugu dan ditiru) oleh muridnya.Sebagaimana kata olrang bijak, guru kencing berdiri murid kencing berlari, ini menjelaskan kepada kita bahwa ketika mental dan moral para pendidik itu rusak, jangan heran jika mental dan moral generasi hasil didikannya lebih bobrok lagi. Benarlah apa yang dikatakan oleh bapak pendidikan nasional kita, Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau yang lebih kita kenal dengan nama Ki Hajar Dewantara (lahir 2 mei 1889) dalam semboyan-semboyannya : Tut wuri Handayani (yang artinya, dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan), Ing Madya Mangun Karsa (yang artinya ditengah-tengah muridnya seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan), serta Ing Ngarso sung tulodo (yang artinya di depan seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh yang baik). Semboyan-semboyan ini inilah yang sampai saat ini masih terus digunakan sebagai pedoman moral dalaml dunia pendidikan kita.
Hujjatul islam imam al-Ghazali dalam karyanya yang monumental Ihya’ Ulumuddin menerangkan bahwa tugas seorang guru diantaranya adalah : pertama, menunjukkan kalsih sayang kepada pelajar/murid dan menganggapnya anak sendiri. Kedua, memberi nasihat dengan sindiran yang lemah lembut bukan dengan kekerasan. Ketiga, menasehati pelajar agar tidak menunda-nunda belajar dan mempelajari ilmu yang terang dengan sungguh-sungguh terlebih dahulu sebelum belajar ilmu yang tersembunyi (yang dapat merusak aqidah) dan yang keempat, tidak mengharapkan upah atas ilmu yang di ajarkannya. Hal ini sesuai dengan sabda Rasul saw. "Janganlah kamu meminta upah atas pengajaran" (H.R.Bukhari Muslim). Ini bermakna bahwa dalam mengajar, seorang guru harus ikhlas. Bukan karena mengharapkan upah(honor).
Keikhlasan dalam mengajar adalah mutlak bagi seorang guru. Mengajar untuk memperoleh upah(honor) bertentangan dengan etika guru itul sendiri. Akan tetapi, guru juga punya kewajiban untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya , karena itu, agar terwujud instansi pendidikan yang bersih perlu adanya korelasi positif dan human sensibility yang kuat antara semua pihak yang memakai jasa guru. Korelasi positif yang dimaksud disini adalah, kita semua harus menghargai jasa seorang guru, dengan memberikan hak-hak guru dengan semestinya seperti : gaji yang layak, tunjangan yang sesuai serta kesejahteraan yang terjamin sehingga guru dapat melaksanakan kewajibannya (mendidik) dengan sebaik-baiknya tanpa harus mempertimbangkan lagi persoalan materi (gaji).
Pahlawan tanpa tanda jasa, begitulah sebutan untuk para guru.Sebutan tersebut bukan bermakna bahwa jasa guru tidak perlu lagi kita hargai, melainkan bermakna bahwa apapun cara yang kita lakukan untuk menghargai jasa seorang guru yang telah mendidik dan mentransfer kita dengan ilmu itu tidak akan pernah bisa membalas jasanya. Karena yang diberikan guru kepada kita adalah illmu, dan ilmu tak ternilai harganya.
Walaupun jasa guru takkan pernah terbayar dengan materi, bukan berarti lantas kita mengabaikan jasa mereka. Guru juga manusia, mereka butuh pengakuan bahwa apa yang telah mereka lakukan sangat berarti untuk bangsa ini. Maka tepatlah kiranya bertepatan dengan bulan pendidikan nasional dan peringatan seabad kebangkitan nasional ini, semua pihak khususnya pemerintah sebagai penentu kebijakan yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan guru, berlomba-lomba memberikan penghargaan kepada para pendidik (guru) yang dianggap berjasa dalam mengembangkan pendidikan dan atelah membantu pemerintah dalam mensukseskan program pendidikan nasional.
Penghargaan tersebut tentunya sangat bermakna bagi guru sebagai sosok yang memiliki peran penting dalam dunia pendidikan yang merupakan pintu gerbang menuju terwujudnya generasi-generasi penerus bangsa yang tercerahkan. Karena itu, kita semua berharap, penghargaan tersebut bukanlah hanya sebuah rutinitas dan formalitas dalam memperingati hari pendidikan nasional ataupun satu abad kebangkitan nasional. Melainkan benar-benar sebentuk pengakuan bahwa memang para guru amemiliki andil besar dalam membuat perubahan penting di negeri ini.
No comments:
Post a Comment