Cerpen: Titie Said
Sumber: Republika, Edisi 02/06/2005
Bulan penuh. Durachman memandang dengan perasaan kagum. Tuhan telah menciptakan bulan dan berada di tengah langit. Apalagi bila dipandang dari laut, pancaran bulan semakin cantik. Durachman mematikan motor perahunya, merebahkan diri dan merasakan kenikmatan yang luar biasa ketika perahunya digoyang gelombang. Bulan yang cantik, secantik Zulaiha yang dipaggilnya Leka.
Leka seperti melayang dari langit dan turun ke perahunya. Ia duduk di ujung perahu dan Durachman di ujung lainnya. Dipandanginya Leka. Ia mengenakan kutang berwarna hijau daun yang kontras dengan kulitnya yang kuning. "Leka.. Leka.. berhari-hari aku di tengah laut," suara Durachman keras. Tapi teriakan itu ditelan angin. "Leka, sudah lama kau tak menemuiku." Ucap Durachman dengan suara rindu. Leka hanya tersenyum manis. Senyum itu mampu membuat hati Durachman tenteram.
"Aku kangen, Leka." Bisik Durachman seperti ia berbisik kepada angin yang semakin kencang."Kangen atau sedih, Cak Durach?'' balas Leka dengan logat Surabaya."Sedih. Aku sedih karena Liki melawanku. Aku susah karena Ija tak mau menuruti kata bapaknya.""Kalau Cak Durach sedih pasti naik perahu dan berlayar ke tengah laut,'' kata Leka. Senyumnya tetap lembut dan pandangan matanya memancarkan cinta. Itulah yang istimewa dari Leka. Selalu ada cinta terpancar di matanya.
Durachman mengangguk. Ia sedih karena anak pertamanya -- Maliki -- tidak mau tinggal di Pulau Bawean. Ia marah pada Liki yang berani membantahnya. Maliki justru kerja di luar negeri! Ia membanggakan Singapura atau keset kaki orang asing! Durachman marah ketika Maliki dengan bangga membawa dolar dan menceritakan apa kerjanya di Singapura. Kerja di dapur seperti perempuan, membantu koki yang di sebut chef di restoran! Pasti restoran Cina! Pasti dia mengiris daging babi.
Liki banggga jadi asisten koki. Itu bukan pekerjaan lelaki Bawean! Mengapa tak mau menjadi nelayan dan membantu ayahnya sendiri? Menjadi nelayan adalah pekerjaan terhormat walau melarat tetapi jadi tuan di perahu sendiri. Mengapa meniggalkan Desa Kadudampit di Pulau Bawean sekadar menjadi koki di negeri asing?
Bulan penuh. Durachman memandang dengan perasaan kagum. Tuhan telah menciptakan bulan dan berada di tengah langit. Apalagi bila dipandang dari laut, pancaran bulan semakin cantik. Durachman mematikan motor perahunya, merebahkan diri dan merasakan kenikmatan yang luar biasa ketika perahunya digoyang gelombang. Bulan yang cantik, secantik Zulaiha yang dipaggilnya Leka.
Leka seperti melayang dari langit dan turun ke perahunya. Ia duduk di ujung perahu dan Durachman di ujung lainnya. Dipandanginya Leka. Ia mengenakan kutang berwarna hijau daun yang kontras dengan kulitnya yang kuning. "Leka.. Leka.. berhari-hari aku di tengah laut," suara Durachman keras. Tapi teriakan itu ditelan angin. "Leka, sudah lama kau tak menemuiku." Ucap Durachman dengan suara rindu. Leka hanya tersenyum manis. Senyum itu mampu membuat hati Durachman tenteram.
"Aku kangen, Leka." Bisik Durachman seperti ia berbisik kepada angin yang semakin kencang."Kangen atau sedih, Cak Durach?'' balas Leka dengan logat Surabaya."Sedih. Aku sedih karena Liki melawanku. Aku susah karena Ija tak mau menuruti kata bapaknya.""Kalau Cak Durach sedih pasti naik perahu dan berlayar ke tengah laut,'' kata Leka. Senyumnya tetap lembut dan pandangan matanya memancarkan cinta. Itulah yang istimewa dari Leka. Selalu ada cinta terpancar di matanya.
Durachman mengangguk. Ia sedih karena anak pertamanya -- Maliki -- tidak mau tinggal di Pulau Bawean. Ia marah pada Liki yang berani membantahnya. Maliki justru kerja di luar negeri! Ia membanggakan Singapura atau keset kaki orang asing! Durachman marah ketika Maliki dengan bangga membawa dolar dan menceritakan apa kerjanya di Singapura. Kerja di dapur seperti perempuan, membantu koki yang di sebut chef di restoran! Pasti restoran Cina! Pasti dia mengiris daging babi.
Liki banggga jadi asisten koki. Itu bukan pekerjaan lelaki Bawean! Mengapa tak mau menjadi nelayan dan membantu ayahnya sendiri? Menjadi nelayan adalah pekerjaan terhormat walau melarat tetapi jadi tuan di perahu sendiri. Mengapa meniggalkan Desa Kadudampit di Pulau Bawean sekadar menjadi koki di negeri asing?
"Kang, anak kita sudah besar... punya kehendak sendiri, punya pilihan sendiri,'' suara Leka lembut memasuki telinga suaminya. "Sejak kecil aku yang mengasuh mereka. Aku tak mau kawin lagi sejak kau tinggal pergi, Leka. Tidak ada seorang pun yang bisa menggantikan kedudukanmu. Aku menyanyangi Liki dan Ija, aku besarkan mereka. harapanku kalau aku tua aku bisa selamanya dengan mereka. Aku kesepian, Leka.'' Durachman membuang nafasnya. Bulan di atas disapu awan. Perahu kembali bergoyang karena gelombang datang. Semakin lama semakin kecang.
Bagi Durachman, kerja nelayan lebih terhormat dibandingkan pelayan. Nelayan bebas dan menjadi tuan bagi dirinya sendiri. Durachman menyanyi lagu yang pernah diajarkan kepada anaknya ketika sekolah dasar: Nenek moyangku orang pelaut.... ''Kalau tak ada nelayan, siapa yang mengambil ikan di laut kita? Apa nelayan asing yang punya kapal besar yang mengeruk harta kita? Kerja nelayan adalah kerja lelaki terhormat, penjelajah yang gagah, pelaut yang berani menghadapi maut." Durachman menggerutu.
"Anak kita tak suka jadi nelayan, sebab ia tahu hasil melaut tak cukup. Mengapa anak lelaki kita suka memasak? Karena ia senang memasak untuk menyambut ayahnya pulang dari laut. Maliki mengambil tugasku dan setia memasak untuk ayahnya. Bukankah Cak Durach yang mengajari memasak?''
"Tapi memasak untuk diri sendiri, bukan jadi pembantu koki...." Durachman berhenti bicara, ia merasakan rabaan angin yan aneh. "Pulanglah, Cak Durach. Maliki dan Azizah menunggu ayahnya. Cak harus mendampingi ketika anak perempuan kita menikah,'' amat pelan suara Leka. Antara ada dan tiada.
''Tidak. Tidak. Ija harus menikah dengan orang Bawean.'' Durachman berteriak mengatasi suara angin yang tiba-tiba bergemuruh. "Aku mewarisi kerja nelayan dari orang tuaku. Mereka pelaut dan aku juga pelaut. Tapi anak-anak tak mau seperti aku. Ija dilamar nelayan di Bawean, tetapi ia menolak. Bahkan, berani lari ke Surabaya. Ia memilih lelaki Lombok! Bukan nelayan, bukan pelaut. Siapa yang akan mewarisi perahu yang dibuat sendiri oleh bapaknya? Apa aku tak boleh sedih?!''
"Mereka punya hak untuk memilih yang terbaik bagi dirinya. Cak memaksa Ija kawin dengan pria pilihan Cak, yang sudah dua kali kawin cerai. Cak ingat ketika semua keluarga di Kadudampit menentang ketika Cak Durach mengawini aku? Cak melawannya, rawe-rawe rantas malang-malang putung. Kekokohan hati Cak diwarisi anak kita."
"Mereka punya hak untuk memilih yang terbaik bagi dirinya. Cak memaksa Ija kawin dengan pria pilihan Cak, yang sudah dua kali kawin cerai. Cak ingat ketika semua keluarga di Kadudampit menentang ketika Cak Durach mengawini aku? Cak melawannya, rawe-rawe rantas malang-malang putung. Kekokohan hati Cak diwarisi anak kita."
"Apa yang mereka anggap baik? Jadi pelayan!" Teriak Durachman karena suara angin berubah dari badai. "Maliki belajar jadi pelayan karena dalam hidup ini memang kita saling melayani. Lurah, camat, bupati, bahkan presiden, melayani rakyat. Biarlah maliki menjadi pelayan rakyat. Pulanglah, Cak. Temui anak-anak kita yang gelisah menunggu ayahnya yang tak pulang dari laut. Pulang... Pulang...." Suara Leka terhenti.
Durachman memandang Leka. Ia ingat bertemu Leka di Kota Sidoarjo. Hidung mancung karena ayahnya masih keturunan Arab, bulu matanya lentik dan menjadi gadis paling cantik. Leka mau diboyong ke Kadudampit di Bawean. Maliki lahir dan disusul kelahiran Azizah yang jaraknya 13 bulan. Pendarahan yang hebat terjadi dan Leka meninggal. "Leka... Leka... " panggil Durachman dengan suara takut.
Durachman memandang Leka. Ia ingat bertemu Leka di Kota Sidoarjo. Hidung mancung karena ayahnya masih keturunan Arab, bulu matanya lentik dan menjadi gadis paling cantik. Leka mau diboyong ke Kadudampit di Bawean. Maliki lahir dan disusul kelahiran Azizah yang jaraknya 13 bulan. Pendarahan yang hebat terjadi dan Leka meninggal. "Leka... Leka... " panggil Durachman dengan suara takut.
"Apa, Cak?"
"Aku kira kau pergi lagi, lagi, lagi...."
"Kan aku sudah berjanji. Cak Durach harus mengikhlaskan kepergianku.
Aku hitung lebih seminggu Cak menyusuri Laut Hindia.
Pulanglah. Bawean dan anak-anak menunggu, Cak," Bisik Leka.
Angin dari mulutnya mengggelitik di telinga Durachman. Ada rasa kangen untuk bersatu dengan istri. Bertahun-tahun ia menahan nafsu lelaki karena cinta dan setia pada Leka. Kini di tengah laut, diayun gelombang besar, ia sepeti memeluk istrinya. Ia ingin melakukan hasrat lelaki. Tetapi ketika tangan Durachman dijulurkan ingin menggapai istrinya, tangannya hanya menembuh udara. Istrinya tetap di ujung gelombang sambil tersenyum, memberi semangat berjuang melawan maut di laut.
"Leka... Leka...." Durachman berteriak sampai pagi. Leka tak lagi muncul. Durachman baru menyadari bahwa malam telah berganti. Tiba-tiba angin laut mati. Begitu tenang bahkan terasa amat sunyi. Ada perasaan tak enak di hati. Burung warna putih terbang tergesa-gesa menuju daratan. Aneh. Alam mengisyaratkan ada sesuatu yang akan terjadi.
Cepat Durachman menghidupkan mesin perahunya. Durachman memeluk pinggir perahu ketika gempa terjadi. Perahunya terbalik. Untung masih bisa diselamatkan. Tiba-tiba seperti ada magnit yang kuat menarik perahunya dan membantingnya di dasar laut. Durachman menahan nafas. Perahu buatan ayahnya, yang setia menemaninya 60 yahun, tiba-tiba lepas dari tangannya.
Dalam hitungan detik ia dilambbungkan oleh gelombang setinggi gunung. Susul menyusul gelombang demi gelombang. Selama hidup jadi nelayan tak pernah ia mengalami peristiwa seperti ini. Gelombang semakin bergemuruh seakan dunia ini runtuh, menghempas, membanting, melambung, menggulung. Tangan Durachman bertaut seakan ia memeluk Leka.
Durachman ingin berterian minta tolong. Mulutnya terbuka, tetapi gelombang besar menggulungnya. "Leka.. Allah.. Allah..," ucapnya. Tetapi suaranya tak terdengar. Seperti bahan, rasanya bumi terbelah.
"Leka... Leka...." Durachman berteriak sampai pagi. Leka tak lagi muncul. Durachman baru menyadari bahwa malam telah berganti. Tiba-tiba angin laut mati. Begitu tenang bahkan terasa amat sunyi. Ada perasaan tak enak di hati. Burung warna putih terbang tergesa-gesa menuju daratan. Aneh. Alam mengisyaratkan ada sesuatu yang akan terjadi.
Cepat Durachman menghidupkan mesin perahunya. Durachman memeluk pinggir perahu ketika gempa terjadi. Perahunya terbalik. Untung masih bisa diselamatkan. Tiba-tiba seperti ada magnit yang kuat menarik perahunya dan membantingnya di dasar laut. Durachman menahan nafas. Perahu buatan ayahnya, yang setia menemaninya 60 yahun, tiba-tiba lepas dari tangannya.
Dalam hitungan detik ia dilambbungkan oleh gelombang setinggi gunung. Susul menyusul gelombang demi gelombang. Selama hidup jadi nelayan tak pernah ia mengalami peristiwa seperti ini. Gelombang semakin bergemuruh seakan dunia ini runtuh, menghempas, membanting, melambung, menggulung. Tangan Durachman bertaut seakan ia memeluk Leka.
Durachman ingin berterian minta tolong. Mulutnya terbuka, tetapi gelombang besar menggulungnya. "Leka.. Allah.. Allah..," ucapnya. Tetapi suaranya tak terdengar. Seperti bahan, rasanya bumi terbelah.
"Allahu Akbar,... Allahu Akbar. Biarkan aku mati menyusul Leka tapi ingin tetap menyebut namaMu. Allahu Akbar... Allahu Akbar...!"
Durachman tak ingat berapa ribu kali hatinya berteriak menyebut nama Allah. Belum pernah dalam hidupnya dibawa gelombang setinggi gunung. gelombang paduan antara gelombang, badai, taifun, prahara, menjadi satu dan begitu dahsyat menghantam badannya.
Entah berapa banyak air keruh itu masuk dalam perutnya. Badannya yang liat itu menghantam pucuk kelapa. Ia menggapai. Untung ia bisa menahan nafas karena biasa menyelam. Badai tak lagi mengghantamnya. Gelombang berasal dari laut dan pasti kembali ke laut.
Tengah hari Durachman baru berani membuka mata. Dari atas puncak pohon kelapa ia memandang ke bawah. Tak ada rumah. Semuanya rata dengan lumpur. Ia memejamkan mata lagi ketika menyaksikan begitu banyak mayat di bawah pohon kelapa yang menyelamatkannya.
"Alhamdulillah... Alhamdulillah... Aku hidup... Aku hidup. Aku bisa bertemu Liki dan Ija.''Ia ingat pernah menasihati Liki sebagai lelaki tak boleh cengeng dan tak pantas menangis. Tetapi kini ia sendiri yang menangis. Ia ingin memeluk Liki dan Ija dan mengatakan jadi apapun mereka asal tetap menjadi orang muslim dan taat pada perintah Allah yang menjadikan hidup ini. Allah juga yang menjadikan petaka ini.
Durachman mendengar suara tangis yang amat pelan. Ia memejamkan matanya. Masya Allah, di sebatang pohon kelapa ini ada lima orang yang selamat. Batang kelapa bisa rubuh. Ia harus menolong dan menurunkan mereka. Tapi batang kelapa amat licin dan ia melepas baju yang sudah robek untuk membersihkan batang kelapa dari limpur. Satu persatu ia tolong mereka menjejak tanah kembali. Dua anak, ibu tua dan lelaki renta. Allah menetapkan kehendakNya. Anak dan orangtua selamat, sedangkan di sekitar mereka ada mayat lelaki yang gagah dan muda.
Mereka terduduk di bawah pohon yang menyelamatkan mereka. "Jak wo Meulaboh?" Durachman mendengar suara gemetar berulang-ulang. Perempuan tua yang ditolongnya bertanya dalam bahasa yang asing di telinganya. Durachman mengira orang itu bertanya namanya."Ya, saya Cak Durach dari Bawean." Kini ia yang heran karena perempuan itu melongo lalu merangkulnya erat. Dua anak kecil memegang kakinya. Ah, anak itu mengingatkan pada Maliki dan Azizah yang suka memeluknya.
Sampai matahari condong di langit, perempuan tua dan dua anak itu tak mau lepas memegang badan dan kakinya. Tak hentinya mereka menangis. Durachman tak mengerti bahasa penduduk yang satu persatu datang. Ia diberi tahu bahwa ia ada di Meulaboh. Bagaimana mungkin ia berada di Meulaboh? Dari laut pasti ia digulung oleh gelombang yang maha dahsyat.
Tak ada air, tak ada makanan, yang tersisa hanya kesedihan yang merobek jiwa. Berapa hari ini berada di Meulaboh? Ah, menghitung hari pun ia tak kuasa, walau sejak kecil ia terbiasa menghitung berapa ikan yang ditangkap ayahnya. Yang dipunyainya hari ini hanya badan yang luka dan tenaga yang lemah. Tetapi ia masih mampu membantu penduduk mengangkat mayat, menguburkannya.
Bahasa tak lagi menjadi penghalang, sebab hati mereka telah menyatu dalam luka dan luka yang dalam. Bukankah ada bahasa agama dan bahasa perasaan yang menjadikan mereka satu? Mereka tidak tahu dimana Pulau Bawean yang dibanggakan Durachman, sama dengan dirinya tak pernah tahu bahwa gempa di laut bisa merubah gelombang jadi tsunami, walau sepanjang hidupnya dihabiskan di laut.
Tangan Durachman gemetar ketika menerima bantuan. Sepanjang hidup ia tak pernah meminta-minta karena ia lelaki dari Bawean. Tapi kini ia harus lari memburu helikopter yang menjatuhkan kardus berisi makanan. Ia harus berjuang memperoleh makanan dan air bersih untuk ibu-ibu tua dan anak-anak. Untuk pertama kali bibirnya menguak senyum ketika mampu membagi makanan itu kepada orang-orang lain yang tak kuat lari. Ada kebahagianan kecil tapi besar maknanya ketika ia bisa memberi.***
Durachman tak ingat berapa ribu kali hatinya berteriak menyebut nama Allah. Belum pernah dalam hidupnya dibawa gelombang setinggi gunung. gelombang paduan antara gelombang, badai, taifun, prahara, menjadi satu dan begitu dahsyat menghantam badannya.
Entah berapa banyak air keruh itu masuk dalam perutnya. Badannya yang liat itu menghantam pucuk kelapa. Ia menggapai. Untung ia bisa menahan nafas karena biasa menyelam. Badai tak lagi mengghantamnya. Gelombang berasal dari laut dan pasti kembali ke laut.
Tengah hari Durachman baru berani membuka mata. Dari atas puncak pohon kelapa ia memandang ke bawah. Tak ada rumah. Semuanya rata dengan lumpur. Ia memejamkan mata lagi ketika menyaksikan begitu banyak mayat di bawah pohon kelapa yang menyelamatkannya.
"Alhamdulillah... Alhamdulillah... Aku hidup... Aku hidup. Aku bisa bertemu Liki dan Ija.''Ia ingat pernah menasihati Liki sebagai lelaki tak boleh cengeng dan tak pantas menangis. Tetapi kini ia sendiri yang menangis. Ia ingin memeluk Liki dan Ija dan mengatakan jadi apapun mereka asal tetap menjadi orang muslim dan taat pada perintah Allah yang menjadikan hidup ini. Allah juga yang menjadikan petaka ini.
Durachman mendengar suara tangis yang amat pelan. Ia memejamkan matanya. Masya Allah, di sebatang pohon kelapa ini ada lima orang yang selamat. Batang kelapa bisa rubuh. Ia harus menolong dan menurunkan mereka. Tapi batang kelapa amat licin dan ia melepas baju yang sudah robek untuk membersihkan batang kelapa dari limpur. Satu persatu ia tolong mereka menjejak tanah kembali. Dua anak, ibu tua dan lelaki renta. Allah menetapkan kehendakNya. Anak dan orangtua selamat, sedangkan di sekitar mereka ada mayat lelaki yang gagah dan muda.
Mereka terduduk di bawah pohon yang menyelamatkan mereka. "Jak wo Meulaboh?" Durachman mendengar suara gemetar berulang-ulang. Perempuan tua yang ditolongnya bertanya dalam bahasa yang asing di telinganya. Durachman mengira orang itu bertanya namanya."Ya, saya Cak Durach dari Bawean." Kini ia yang heran karena perempuan itu melongo lalu merangkulnya erat. Dua anak kecil memegang kakinya. Ah, anak itu mengingatkan pada Maliki dan Azizah yang suka memeluknya.
Sampai matahari condong di langit, perempuan tua dan dua anak itu tak mau lepas memegang badan dan kakinya. Tak hentinya mereka menangis. Durachman tak mengerti bahasa penduduk yang satu persatu datang. Ia diberi tahu bahwa ia ada di Meulaboh. Bagaimana mungkin ia berada di Meulaboh? Dari laut pasti ia digulung oleh gelombang yang maha dahsyat.
Tak ada air, tak ada makanan, yang tersisa hanya kesedihan yang merobek jiwa. Berapa hari ini berada di Meulaboh? Ah, menghitung hari pun ia tak kuasa, walau sejak kecil ia terbiasa menghitung berapa ikan yang ditangkap ayahnya. Yang dipunyainya hari ini hanya badan yang luka dan tenaga yang lemah. Tetapi ia masih mampu membantu penduduk mengangkat mayat, menguburkannya.
Bahasa tak lagi menjadi penghalang, sebab hati mereka telah menyatu dalam luka dan luka yang dalam. Bukankah ada bahasa agama dan bahasa perasaan yang menjadikan mereka satu? Mereka tidak tahu dimana Pulau Bawean yang dibanggakan Durachman, sama dengan dirinya tak pernah tahu bahwa gempa di laut bisa merubah gelombang jadi tsunami, walau sepanjang hidupnya dihabiskan di laut.
Tangan Durachman gemetar ketika menerima bantuan. Sepanjang hidup ia tak pernah meminta-minta karena ia lelaki dari Bawean. Tapi kini ia harus lari memburu helikopter yang menjatuhkan kardus berisi makanan. Ia harus berjuang memperoleh makanan dan air bersih untuk ibu-ibu tua dan anak-anak. Untuk pertama kali bibirnya menguak senyum ketika mampu membagi makanan itu kepada orang-orang lain yang tak kuat lari. Ada kebahagianan kecil tapi besar maknanya ketika ia bisa memberi.***
No comments:
Post a Comment