Saturday, 9 February 2008

FAKTA KELISTRIKAN NASIONAL


Dalam Rangka Menemukan Solusi
Strategis Kelistrikan di Pulau Bawean

(Oleh: Yana*)

Permasalahan kelistrikan di pulau Bawean yang berjarak 80 mill laut dari kota Gresik, dengan luas wilayah 197,42 km2, jumlah penduduk 93.315 jiwa (BPS Gresik) belum juga menunjukkan tand-tanda pemulihan. Sampai saat ini pengadaan energi listrik di pulau Bawean dikelolah oleh PLN (Perusahaan Listrik Negara), dengan jumlah pelanggan sektor rumah tangga 5.525 pelanggan, sektor komersil 4.102 pelanggan, sektor publik 29 pelanggan. Jadi jumlah keseluruhan pelanggan PLN di pulau Bawean 9.646 pelanggan. Energi listrik dari PLN tersebut dijual kepada pelanggan PLN seharga Rp. 587,-/kwh (PLN Jatim, 2006).
Kondisi kelistrikan di Bawean bisa dikategorikan krisis karena hingga saat ini kondisi listrik di Bawean hanya menyala selama 17 jam per hari, kondisi tersebut sudah terjadi tiga tahun terakhir. Hingga saat ini PLN juga belum mampu melayani masyarakat yang posisinya pelanggan tunggu, dimana jumlah mencapai 9.000 pelanggan. Kondisi ini bisa dibilang tragis, dimana 60 persen masyarakat Bawean yang statusnya sebagai pelanggan tunggu PLN masih berharap mendapatkan pelayanan listrik, sedangkan masyarakat Bawean yang statusnya pelanggan PLN belum mendapatkan pelayanan yang maksimal dari PLN sebagai satu-satunya pengelolah listrik di Bawean.
Adapun pernyataan dari pihak PLN Bawean bahwa kondisi krisis listrik di Bawean terjadi karena PLN selalu merugi hingga 1,2 Milyar per bulan dan pertamina mengurangi stok bahan bakar (solar) untuk PLN Bawean. Pernyataan serupa juga dilontarkan oleh Manager Divisi Perencanaan PLN Jawa Timur, Bapak Arif Nur Hidayat pada pertemuan di komisi B DPRD Gresik. Pihak PLN selalu merugi hingga 1,2 Milyar per bulan padahal biaya operasional PLN mencapai 1,1 Milyar per bulan dan pendapatan PLN hanya Rp. 400.000.000 juta per bulan. Pernyataan Bapak Rusbandi (General Manajer PLN Gresik) pada dialog dengan masyarakat Bawean pada tanggal 27 Desember 2006, jika masyarakat Bawean masih ingin dilayani oleh PLN maka PLN tidak akan hengkang dari Bawean, tapi PLN tidak mampu lagi melayani listrik bisa hidup 24 jam per hari . Jika masyarakat Bawean menginginkan listrik hidup selama 24 jam per hari maka masyarakat harus swadaya.
Pada kondisi dimana PLN mengalami kerugian dan tidak mampu memperbaiki memperbaiki pelayanan kepada pelanggannya, yang terjadi PLN melakukan praktek curah listrik di masyarakat. Praktek curah listrik sudah lama terjadi, hingga saat ini pelanggannya mencapai 600 dengan biaya pendaftaran Rp. 2.500.000 dan tarif Rp. 1500-2000 per kwh. Praktek ini telah menjadi sindikat kriminal yang sangat merugikan Negara sebagai penyokong dana penyelenggaraan listrik dan masyarakat sebagai pelanggan PLN.
Pada setiap penyelenggaraan industri harus ada kelayakan pada tiga sektor yaitu: sektor teknis, sektor ekonomi dan sektor finansial. Jika ada salah satu sektor yang dinilai tidak layak maka proses industri akan mengalami kemandekan atau tidak akan maksimal dalam proses produksi maupun pelayanan terhadap konsumen. Kondisi ini juga berlaku pada PLN. Kondisi ini yang dialami oleh PLN Bawean sehingga tidak mampu memperbaiki pelayanan pada masyarakat.
Kondisi krisis kelistrikan di Bawean telah melahirkan banyak perubahan sosial ekonomi masyarakat. Sektor-sektor ekonomi yang mulai tumbuh dan berkembang akhirnya lumpuh. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat Bawean.
Merespon kondisi kelistrikan di Bawean yang semakin terpuruk, maka Pemerintah Kabupaten Gresik membuka pintu bagi pihak swasta yang berminat berinvestasi mengelolah kelistrikan di Bawean. Sikap Afirmatif Pemerintah Kabuapaten Gresik menimbulkan polemik baru bagi masyarakat Bawean. Munculnya kelompok pro dan kontra adalah efek dari sikap Pemerintah Kabupaten Gresik yang membuka peluang swastanisasi listrik di Bawean. Mereka yang pro swastanisasi adalah masyarakat yang statusnya pelanggan tunggu PLN dan sebagian pelanggan yang menginginkan perbaikan pelayanan kelistrikan.
Sedangkan mereka yang kontro adalah pelanggan PLN yang tidak sepakat dengan penetapan tarif listrik oleh pihak swasta yang dianggap terlalu mahal. Kondisi ini dimanfaatkan oleh sebagian kelompok elit politik sebagai isu politis.Kebijakan energi pada masa lalu yang sangat tidak bervisi jauh ke depan dan kerangka kebijakan yang tidak jelas dalam mendorong investasi swasta di sektor ketenagalistrikan, dituding sebagai biang keladi krisis listrik berkepanjangan di negeri ini. Krisis listrik diperkirakan belum akan teratasi sampai beberapa tahun kedepan.
Dari sisi keseimbangan suplai dan permintaan, krisis listrik terjadi karena pasokan listrik tidak mampu mengimbangi kebutuhan dalam perekonomian. Sejak krisis ekonomi 1997, bisa dikatakan tidak ada penambahan kapasitas pembangkit baru yang signifikan. Produksi listrik nasional stagnan sejak 1998, hanya tumbuh sekitar 3 persen per tahun, atau dibawah kaju pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5 – 6 persen pada tahun ini. Angka pertumbuhan produksi listrik sebesar 3 persen tidak cukup mampu mengimbangi pertumbuhan permintaan listrik yang meningkat 7-8 persen per tahun.
Persoalan underinvestment bukan hanya dialami oleh pembangkit, tetapi juga jaringan transmisi dan distribusi. Sistem Jawa-Bali yang paling maju dan saling tersambung (interkoneksi) dengan jaringan 500 Kv dan kabel laut 150 Kv pun sebenarnya belum sepenuhnya saling tersambung karena disebabkan kelemahan dalam sistem transmisi dan distribusi. Sistem Jawa-Bali juga sangat rawan karena menggantungkan pada dua pembangkit besar, PLTU Suralaya (3.400 MW) dan PLTU Paiton (2.400), yang sudah tua dan “sakit-sakitan”.
Untuk mengimbangi laju konsumsi listrik yang diperkirakan mencapai 8-10 persen per tahun hingga tahun 2013, Indonesia, menurut pemerintah, memerlukan tambahan pembangkit sebesar 24 gigawatt (GW). Kapasitas terpasang pembangkit yang dimiliki hingga sekarang adalah 24,7 GW. Beban ini tidak mungkin dilimpahkan kepada PLN yang dalam beberapa tahun dilanda kesulitan keuangan. Ironisnya, meski berbagai upaya pembenahan regulasi dan insentif sudah dilakukan pemerintah, investasi swasta juga kunjung masuk.Demikian pula berbagai program fast track yang dimaksudkan untuk mengatasi krisis listrik dalam jangka pendek (Terutama di Jawa-Bali), dan proyek PLTU batu bara yang 10.000 MW yang ditargetkan selesai dalam tiga tahun, juga tidak jelas perkembangannya sampai sekarang.
Berdasarkan kajian sejumlah lembaga, faktor utama yang menarik investor masuk pada sektor ketenagalistrikan adalah pertumbuhan permintaan, laju elektrifikasi, kompetitif tidaknya struktur tarif, potensi keuntungan (return on investment), tingkat resiko, keterbukaan pasar, fundamental jangka panjang, dan stabilitas ekonomi politik serta demokrasi. Dari faktor-faktor tersebut, mereka melihat Filipina merupakan tempat menarik untuk investasi kelistrikan, disusul Thailand, Vietnam, India, Malaysia, dan China.
Sedangkan Indonesia, Sri Lanka dan Pakistan dianggap tidak menarik.Analis investasi Chen Wei menilai, salah satu alasan tidak masuknya investor adalah karena tidak ada kerangka kebijakan (regulator framework) yang jelas. Salah satu yang diinginkan investor adalah kepastian tentang tarif. Persoalannya, struktur tarif yang sekarang ini tidak didukung oleh undang-undang kelistrikan yang benar. Di satu sisi mereka yang mendukung dianulirnya undang-undang kelistrikan No.2 Tahun 2002 menginginkan tarif listrik tetap ditentukan oleh pemerintah, namun harga BBM untuk pembangkit diserahkan pada mekanisme pasar. Ini yang membuat investasi di kelistrikan tidak menarik bagi investor.
Tidak masuknya investor swasta mengakibatkan struktur industri kelistriakn tetap didominsai oleh PT PLN yang tidak efisien, penuh korupsi, dan tidak mampu menjadi ujung tombak ekspansi pembangunan kelistrikan karena kesulitan keuangan sejak terjadinya krisis ekonomi. Keterpurukan PLN, selain bersumber dari kebobrokan di dalam, juga karena kebijakan pemerintah yang kontradiktif, dan keterlambatan pemerintah membayar subsidi ke PLN membuat PLN tidak bisa membeli pasokan BBM atau gas ke Pertamina dan PGN sehingga pelayanan PLN ikut terganggu. Konsekuensi dari kondisi ini, upaya menggenjot pasokan listrik juga terkendala. Ini baru bicara pembangkit. Krisis listrik sebenarnya gambaran krisis energi nasional akibat kegagalan dalam pengelolahan sumber daya energi nasional secara opimal.
Dari keseluruhan desa di Indonesia, masih ada sekitar 11% yang belum mendapat pasokan listrik. Memang kendala terbesarnya adalah keadaan geografis. Jika ini didiamkan saja, berarti pemerintah mendiskriminasikan daerah terpencil dalam alur pembangunan nasional. Perlu penelitian lebih lanjut untuk merumuskan cara mengusahakan listrik di daerah-daerah, selain dengan cara membuka jalur pentransmisian baru.
Mengingat kondisi lapangan yang tidak lagi memungkinkan. Bisa jadi dengan memanfaatkan potensi lokal daerah tersebut. Ditambah lagi dengan prosedur pemasangan listrik yang kompleks di beberapa daerah. Setelah itu, yang juga perlu diperhatikan bahwa masyarakat kecil jangan sampai terkurangi aksesnya untuk memperoleh listrik hanya karena alasan ekonomi.
Listrik adalah hajat hidup orang banyak, tentunya menjadi tanggung jawab pemerintah. Karena jaman sekarang, tanpa listrik yang ada hanya kekolotan dan tradisionalisme. Memang pihak penyedia listrik Negara tidak bisa memungkiri telah mengecilkan perhatian terhadap kelistrikan di daerah-daerah terpencil.Jenis pembangkit listrik terbanyak sampai sejauh ini masih berupa pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD). Pada tahun 2004 saja, dari 5.123 pembangkit yang ada, 4.776 diantaranya adalah pembangkit listrik tenaga diesel. Kebanyakan dari diesel itu menggunakan bahan bakar minyak (BBM). Harga BBM semakin lama semakin mahal sehingga berimbas ke harga listrik itu sendiri.
Sementara kas Negara tidak bisa mengikuti kenaikan harga BBM itu, subsidi pemerintah pun berkurang. Langkah yang paling memungkinkan adalah dengan menaikkan tarif dasar listrik. Subsidi pemerintah terhadap BBM hendaknya diupayakan lebih tepat sasaran. Selama ini, subsidi itu diberikan sama rata kepada seluruh rakyat. Padahal untuk lebih mengefektifkan anggaran, pemerintah bisa saja lebih mengutamakan rakyat kecil.
Maksudnya, masyarakat dari golongan ekonomi menegah ke atas dibebani biaya tanpa subsidi. Sedangkan, alokasi subsidi itu nantinya dapat dialihkan untuk pos penting lainnya. Karena paling banyak mengonsumsi BBM justru dari kalangan menengah ke atas. Belum lagi adanya permasalahan klasik dalam hal rugi-rugi daya atau masalah-masalah teknis lainnya yang belum dapat terselesaikan tuntas. Padahal sudah banyak lulusan teknik elektro yang seharusnya bisa dikaryakan untuk mengatasi masalah teknis seperti itu. Tak dapat dipungkiri pula, masih adanya penyalahgunaan jabatan dan kekuasaan sehingga masyarakat menjadi korban “kekurangan” dana kelistrikan tersebut.
Penelitian telah membuktikan bahwa diantaranya tanaman jagung, ketela, jarak pagar dan sawit dapat menghasilkan minyak. Harga minyak nabati itu jauh lebih murah dibanding harga minyak bumi. Akan tetapi, banyak sekali kendala dalam pengadaannya. Pemerintah tidak punya inisiatif untuk memfasilitasi penelitian dan pengadaan minyak nabati tersebut. Belum lagi saat pembukaan lahan untuk perkebunan tanaman-tanaman tersebut, menyisakan luka ekologis.
Seperti mempersempit habitat spesies-spesies hutan, mengganggu keseimbangan alam, dan mengurangi keanekaragaman hayati. Ditambah lagi anggapan bahwa pemanfaatan minyak nabati, khususnya dari jagung dan ketela, akan memunculkan krisis pangan. Di sisi lain, energy alternative nuklir juga tidak luput dari pro dan kontra. Energi yang sampai saat ini masih menjadi sumber energi paling murah dan efektif, masih juga menimbulkan kekhawatiran terkait keamanannya. Tidak ada kepercayaan penuh kepada pemerintah justru kebijakan yang diambil pemerintah (Perpres No.71/2006) adalah membangun pembangkit tenaga listrik tenaga uap berbahan-bakar batu bara. Asumsinya cadangan batu bara masih melimpah dengan kemungkinan baru akan habis sampai 100 tahun ke depan.
Pemerintah harus tegas dalam menghadapi pro dan kontra seputar ketenagalistrikan tersebut. Setidaknya pemerintah mempunyai kuasa untuk memilih dan harus mendapat kepercayaan penuh dari masyarakat. Iran sudah berdiri paling depan di barisan Negara berteknlogi nuklir, India Berjaya di bidang informatika, sementara Indonesia masih saja berkutat dalam perdebatan panjang tentang perlu tidaknya pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir, dan lainnya. Permasalahan listrik sekarang tidak hanya berimbas kepada generasi ini, tetapi juga berimbas sampai generasi beratus-ratus tahun berikutnya. Bisa jadi, pada masa mendatang Indonesia harus membeli energi dari Negara lain karena cadangan energi yang tidak terkontrol penggunaannya.
Adapun akar permasalahan kelistrikan di Indonesia dapat kita lihat sebagai berikut :
1. Budaya hidup yang boros dari sebagian masyarakat Indonesia terutama kalangan menengah keatas. Contoh – contoh yang telah dijelaskan sebelumnya menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat dalam penghematan listrik masih sangat rendah. Mereka seakan – akan tidak sadar bahwa penghematan penggunaan energi listrik bukan sekedar permasalahan menurunkan biaya tagihan listrik. Melainkan adalah penghematan sumber bahan bakar fosil yang menjadi sumber energi primer bagi pengadaan listrik.
2. Lamban dan tidak terfokusnya kebijakan pemerintah untuk diversifikasi sumber energi. Beberapa kebijakan tentang energi alternatif pun terkadang juga kurang efektif dengan rendahnya reward dan punishment. Krisis energi listrik dalam negeri yang ditandai dengan kenaikan tajam harga BBM, pemadaman listrik bergilir akibat kenaikan harga minyak dunia malah disikapi dengan “ sekedar “ himbauan untuk melakukan penghematan yang ternyata justru banyak dilanggar oleh aparat pemerintah sendiri (terutama para pejabat dan keluarganya).
Menarik memang mencermati apa yang dilakukan pemerintah dan jajarannya ( termasuk PT. PLN sebagai sebuah BUMN ) untuk menangani ancaman krisis energi listrik yang mulai melanda negeri ini. Saat pemerintah meminta masyarakat untuk melakukan pengehematan listrik beberapa waktu yang lalu, ternyata efektivitasnya pun sangat kurang. Budaya masyarakat pada kalangan menengah keatas yang menuntut mereka untuk menghambur – hamburkan energi listrik (seperti yang sudah dibahas sebelumnya), sebenarnya adalah masalah telah terjadinya kapitalisasi dan matrealisasi terhadap gaya hidup pada masyarakat Indonesia. Budaya barat yang cenderung kapitalistik dan matrealistik inilah yang menyebabkan tuntutan hidup mereka untuk mempunyai rumah mewah dengan pekarangan luas, taman dan kolam renang yang sangat membutuhkan penyediaan energi listrik yang cukup banyak (padahal mereka tidak terlalu membutuhkan).
Dengan alasan “ kepuasan tersendiri “ jika memiliki berbagai kemewahan “ boros listrik “ ini mereka sangat berat untuk dimiinta berhemat. Sulit memang jika “gengsi“ sebagai sebuah kebutuhan psikologis bagi masyarakat kapitalis boros ini sudah menjagkit pada masyarakat kita, dimana penggunaan listrik yang mereka lakukan terkadang tidak produktif ( sebuah fakta menarik dari Menko Ekuin Budiono yaitu : Elastisitas penggunaan energi di Indonesia masih sekitar 1, 84 % artinya kenaikan Produk Domestik Bruto 1 % membutuhkan kenaikan konsumsi energi sekitar 1, 84 % hal ini sama saja kalau produktivitas masyarakat Indonesia naik 1 % berarti konsumsi mereka terhadap energi harus naik 1,84 %. Ini menunjukkan borosnya pengguna energi di Indonesia ). Dengan demikian, saat pemerintah dan juga PT. PLN meminta masyarakat untuk berhemat, maka hasilnya pun cukup mengecewakan dan amat sangat sulit. Sebab kita sekarang harus mengubah budaya masyarakat yang sudah terlanjur menjadi kapitalistik ini menjadi hidup yang hemat. Persoalan merubah budaya bukan persoalan yang mudah dan membutuhkan waktu yang lama.
Menurut Steven R. Covey dalam buku The Seven Habbits –nya, merubah budaya adalah merubah kebiasaan, merubah kebiasaan adalah merubah paradigma berfikir seseorang. Perubahan paradigma berarti memang merubah struktur tata nilai masyarakat yang ada. Hal ini menjadi sangat lama apalagi jika kesadaran kurang. Masyarakat yang sadar akan menipisnya sumber energi di Indonesia saja sudah sangat sedikit (umumnya adalah kalangan akademisi dan praktisi engineering dan kaum terpelajar).
Sehingga apa yang dilakukan oleh pemerintah dengan himbauaan penghematan sudah akan sangat sulit untuk terlaksana. Selain pemborosan yang dilakukan oleh masyarakat pengguna energi listrik, PT. PLN sebagai satu – satunya perusahaan yang menjadi penyedia layanan energi listrik ternyata juga melakukan pemborosan yang cukup signifikan yang menyebabkan rendahnya produktivitas penggunaan energi listrik di Indonesia yang makin lama makin menipis ini. Inefisiensi ini terjadi akibat mulai tuanya mesin–mesin pembangkit di Indonesia (nilai effisiensi mesin secara termodinamik menurun), transmisi jaringan yang sudah sangat tua sehingga susut energi pada jaringan PLN menjadi cukup besar, pencurian listrik yang melibatkan orang dalam cukup besar, perhitungan kebutuhan daya listrik riil masyarakat yang selalu keliru dengan defiasi yang tinggi serta praktek KKN yang masih terlalu tinggi ditubuh PLN.
Memang sebenarnya PT. PLN sendiri sekarang sedang berusaha untuk menyelesaikan permasalahan diatas namun memang hasilnya belum banyak mengkontribusi untuk penghematan energi listrik secara nasional. Lalu kalau kita lihat sebenarnya solusi yang cukup tepat adalah dengan melakukan diversivikasi energi dengan menggunakan energi alternatif atau energi terbarukan. Di Indonesia sebenarnya telah ada baik lembaga penelitian maupun akademik yang telah mencoba mengembangkan riset – riset untuk menemukan energi alternatif dan terbarukan. BPPT mempunyai bidang teknologi pengembangan sumber daya alam, pusat penelitian fisika LIPI mempunyai bidang teknologi energi terbarukan.
Selain itu bidang energi terbarukan juga dikembangkan di kalangan akademisi terutama pada jurusan Teknik Fisika, Teknik Kimia dan Teknik Mesin di berbagai Universitas dan Institut besar di Indonesia. Bukan itu saja, pemerintah pun mendukung dengan berbagai macam regulasi baik dalam bentuk undang – undang, keputusan presiden atau pun instruksi teknis para menteri seperti Keputusan Presiden RI no. 43 tahun 1991, tertanggal 25 Sept 1991 yang isinya adalah menuntut adanya audit tentang penggunaan energi bagi bangunan gedung, Peraturan Pemerintah No 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi yang jelas – jelas menyatakan bahwa pemerintah akan melakukan diversifikasi energi dengan mengembangkan energi alternatif dan terbarukan dalam pasal – pasalnya.
Menko Ekuin Budiono juga menegaskan bahwa pemerintah akan serius dalam diversivikasi energi karena menipisnya energi di indonesia dikhawatirkan akan menurunkan daya saing perekonomian Indonesia di dunia. Telah banyak sekali instrumen penting yang dimiliki oleh Indonesia untukmencoba mengembangkan energi alternatif dan terbarukan. Namun apa yang menyebabkan perkembangan energi terbarukan kemudian sangat lambat dan seakan – akan hanya ada dalam “ meja – meja penelitian “ atau ada di “ratusan halaman skripsi mahasiswa“. Masyarakat awam kebanyakan mungkin masih sangat asing dengan biodiesel, bioethanol, fuel cell, biogas, photo voltaic, biomasa, energi angin dan berbagai instilah dalam energi alternatif yang lain (kami saja baru mengenal istilah tadi setelah menjadi mahasiswa di Teknik Fisika). Apa yang sebenarnya salah ? .
Hemat kami ada beberapa hal yang menyebabkan permasalahn ini terjadi yaitu : Tidak adanya strategi pemerintah yang jelas dan aplikatif tentang penggunaan energi nasional. Peraturan pemerintah yang sudah dibuat masih dalam bentuk strategi umum belum dalam strategi aksi. Ini yang dinilai belum ada dan sebenarnya hal ini sudah terjadi berlarut larut.
Contohnya, penggunaan gas alam bagi industri, ternyata lebih murah dibandingkan dengan penggunaan minyak bumi, tetapi Indonesia malah mengekspor gas bumi dan memakai minyak bumi, lalu saat minyak bumi merangkak naik terjadilah kesulitan energi.
Contoh lain misalnya seperti yang diungkapkan oleh wakil ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Ade Sudrajat. Beliau mengatakan mengapa keberhasilan BPPT dalam membuat bio oil yang perbandingan nilai kalorinya 1 liter minyak bakar = 1,54 liter bio oil seharga Rp. 1.540,00 tidak pernah disosialisasikan oleh pemerintah.
Selain itu ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman, Ferry Firmanysah mempertanyakan tentang kebijakan pemerintah yang tidak konsisten terhadap penggunaan energi alternatif, sebelumnya pemerintah meminta untuk menggunakan briket batu bara kepada industri, industri kemudian melakukan investasi kesana. Hasilnya memang mampu menghemat pengeluaran perusahaan sampai 600 juta per bulan. Tetapi tiba – tiba pemerintah meminta untuk menggunakan bio petroleum.
Menurutnya keadaan seperti in malah memberatkan industri. Pemerintah kemudian terkesan tidak mempunyai strategi yang jelas. Sebenarnya industri hanya membutuhkan kepastian penggunaan energi alternatif jenis apa.Tidak ada reward yang jelas terhadap pengembangan energi alternatif.
Dalam Executive Summary Sumber Energi Alternatif Menuju Ketahanan Energi Nasional yang di keluarkan oleh LEMHANAS, dikatakan bahwa dibutuhkan suatu kemudahan (reward) bagi pengembangan energi alternatif seperti yang dilakukan oleh negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand, disana dibentuk sebuah lembaga khusus yang mengembangkan riset dan mancari investor untuk pengadaan energi alternatif atau terbarukan ini. Lalu seperti di Malaysia pemerintah memberikan Elaun Modal Dipercepatkan (Accelerated Capital Allowance, ACA) bagi barang–barang yang menggunakan energi alternatif atau barang yang hemat energi. Selain tu tidak adanya dukungan serius dari pemerintah terhadap penelitian di bidang energi alternatif atau terbarukan. Hal ini terlihat dengan minim nya dana penelitian dan pengembangan. Juga rendahnya fasilitas pendidikan di program studi yang mengembangkan energi terbarukan.
Dukungan investasi energi terbarukan masih rendah. Untuk dapat diproduksi secara masal maka dibutuhkan investasi ( yang tidak sedikit ) bagi produksi energialternatif. Sayangnya ketertarikan investor pada bisnis energi terbarukan masih sangat rendah. Walaupun baru – baru ini Badan Koordinasi Penanaman modal baru saja pengeluarkan izin terhadap tujuh perusahaan produsen biopetroleum. Namun kapasitas produksi mereka masih jauh dari yang dibutuhkan masyarakat. Mungkin hal ini disebabkan oleh duahal yang telah kita bahas sebelumnya. Juga dimungkinkan oleh sulitnya administrasi perizinan investasi di Indonesia.
Dari uraian di atas kami memberikan beberapa masukan untuk kebijakan pemerintah yaitu: 1.Sosialisasikan pada maysarakat tentang menipisnya energi primer di Indonesia agar tumbuh kesadaran untuk berhemat pada masyarakat.
2.Tingkatkan effisiensi PT. PLN.
3.Buat lah strategi pengembangan nasional energi alternatif dan terbarukan yang aplikatif dan progresnya dapat dilaksakan oleh maysarakat
4.Buatlah penghargaan dalam bentuk kemudahan bagi pengembang energi alternatif atau terbarukan.
5.Tingkatkan fasilitas dan dana penelitian pada lembaga penelitian dan perguruan tinggi yang mengembangkan energi terbarukan.
6.Promosikan keuntungan bisnis energi alternatif pada para investor Memang tidak dapat dipungkiri bahwa sulit melepaskan diri dari jeratan monopoli PLN. Dan kita tahu bahwa tarif TDL kita sangat mahal. Sudah begitu pemerintah lebih bodoh lagi dengan membiarkan monopoli ini terus berakar kuat tanpa ada kebijakan atau solusi yang kreatif.
Bukankah para staf ahli pemerintahan kebanyakan adalah orang-orang terpelajar yang amat-sangat terpelajar? Solusi untuk berhemat seharusnya tidak perlu didengungkan. Karena memang kebutuhan listrik dewasa ini dimana eranya teknologi dan industri maju sudah pasti akan terus naik. Sayangnya memang mungkin kurangnya rencana pengembangan dan kebijakan kelistrikan, atau memang karena pemerintah/PLN tidak punya uang, maka peningkatan kapasitas pasok listrik negara sangat kecil dibandingkan dengan kebutuhan dan peningkatan konsumsi listrik masyarakat.
PLN tidak dapat memungkiri kenyataan bahwa mereka tidak bisa memasok listrik sampai ke pelosok negeri ini sebagai bagian dari USO. Sudah begitu manajemen PLN terlihat tidak baik dengan semakin terpuruknya neraca keuangan PLN sampai harus meminta subsidi pemerintah karena defisit. Solusi jitu untuk masalah yang merupakan lingkaran-setan ini adalah dengan melakukan swadaya listrik. Dengan begitu kita bisa bebas dari polemik berkepanjangan ini dan bisa terbebas dari masalah PLN dan pemerintah (yang selalu bermasalah). Mengapa kita harus mandiri? Bukankah kita memiliki PLN? Bukankah lebih lebih praktis jika berlangganan PLN? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini kita harus melihat ke permasalahan saat ini. PLN dan pemerintah telah mengajukan kenaikan TDL dan DPR beserta rakyat telah menolaknya mentah-mentah. Lucunya PLN/Pemerintah hanya mengusulkan 2 opsi, yaitu:
1.TDL naik. Terakhir diberitakan akan naik 10-15% untuk pelanggan 2,000 watt.
2.Pemerintah harus memberi (menaikkan) subsidi untuk menalangi defisit PLN. Tampak memang pemerintah didesak untuk menyetujui kenaikan tarif hanya gara-gara ditodong subsidi. Pemerintah tidak memberikan solusi lain di luar kedua solusi di atas. Lucunya DPR juga menolak dengan dalih-dalih berdasarkan ke-2 opsi yang disodorkan tersebut.
Mungkinkah ada solusi lain selain kedua solusi di atas?
Berikut ini beberapa pilihan yang dapat dipertimbangkan
a. Swadaya Listrik Daerah
Beberapa daerah terpencil yang tidak terjamah PLN telah dengan kreatif mengadakan swadaya listrik dengan dibantu beberapa universitas atau LSM yang peduli terhadap mereka. Seharusnya proyek swadaya listrik ini juga dapat diterapkan di pedesaan atau perkotaan walau pun sejatinya desa atau kota ini telah memiliki pasokan listrik dari PLN.
b. Swadaya Listrik Industri
Beberapa industri baik berskala rumahan mau pun berskala menengah-besar telah memiliki sumber daya listrik independen. Biasanya berbahan bakar solar (atau campuran bio-diesel).
Dan tragisnya industri ini terpuruk saat kenaikan BBM tempo hari. Peristiwa tragis ini membuat banyak industri gulung tikar, atau minimal mengurangi jam operasi dan jumlah karyawan. Korbannya lagi-lagi adalah masyarakat (buruh) yang bekerja di industri ini. Setelah mereka dihantam kenyataan bahwa harga-harga kebutuhan pokok naik, kini mereka malah tidak memiliki penghasilan karena di-PHK.
Mengapa harus hemat Energi?
A. Biaya Pemakaian Listrik Yang Semakin Mahal
Listrik bukanlah sesuatu yang gratis. Di Indonesia, listrik dikelola oleh negara melalui suatu instansi yang bernama Perusahan Listrik Negara (PLN). PLN inilah yang berkewajiban memproduksi listrik untuk bisa dinikmati oleh masyarakat. Listrik diproduksi dengan mengelola beberapa pembangkit tenaga listrik yang kemudian disalurkan ke setiap masyarakat yang membutuhkan. Untuk memperoleh listrik dari PLN tersebut masyarakat diharuskan berlangganan. Sebagai kompensasi dari langganan listrik tersebut masyarakat pun diwajibkan membayar rekening listrik yang biasanya ditagih untuk setiap bulannya. Besarnya rekening listrik ini sangat tergantung pada besarnya penggunaan listrik masing-masing konsumen. Konsumen industri atau perkantoran tentunya akan memiliki tagihan rekening yang lebih besar daripada konsumen rumah tangga. Antar konsumen rumah tangga pun bisa jadi memiliki tagihan rekening yang berbeda-beda. Yang sering dikeluhkan saat ini adalah tingginya Tarif Dasar Listrik (TDL) yang dikeluarkan oleh PLN sebagai pedoman dalam penentuan rekening listrik. Semakin mahalnya TDL ini dapat terjadi karena banyak faktor. Faktor paling dominan adalah mahalnya harga bahan bakar fosil / minyak dunia yang digunakan untuk pembangkit tenaga listrik. Oleh karena itu, PLN pun terpaksa menaikkan nilai TDL yang ujung-ujungnya harus dibebankan kepada konsumen. Tingginya nilai TDL inilah yang menyebabkan listrik menjadi sesuatu yang mahal sehingga penggunaannya harus lebih dihemat.

B. Kebutuhan Listrik Dan Alat Listrik Semakin Meningkat
Saat ini hampir setiap kegiatan yang dilakukan oleh manusia tidak bisa dilepaskan dari listrik. Mulai dari penggunaan pompa air untuk mengambil air tanah, sampai dengan hal terkecil seperti mencharge baterai ponsel pun harus dilakukan dengan bantuan listrik. Setiap kegiatan yang dibantu oleh energi listrik menjanjikn suatu kepraktisan dan kemudahan pengoperasian. Bisa dibayangkan, betapa lelahnya jika harus menimba air dari sumur yang dalam atau betapa repotnya jika setiap saat harus membeli baterai baru untuk ponsel jika tidak bisa di charge secara secara praktis dengan energi listrik. Oleh karena itu, berbagai alat listrik pun mulai diproduksi untuk menjawab kebutuhan manusia akan kepraktisan tersebut. Manusia membutuhkan alat-alat listrik dan alat-alat listrik itu pun memerlukan energi listrik untuk bisa beroperasi. Hal itulah yang melatarbelakangi ketergantungan manusia akan listrik dan berbagai alat listrik yang semakin lama semakin meningkat. Meningginya tingkat kebutuhan akan listrik dan juga alat-alat listrik ini sebisa mungkin harus diminimalisasi oleh masyarakat. Hal ini terkait pula dengan semakin meningkatnya biaya pemakaian listrik. Semakin banyak konsumsi listrik serta penggunaan alat-alat listrik semakin tinggi pula tagihan rekening listrik setiap bulannya. Oleh karena itu, penghematan dalam penggunaan listrik perlu dilakukan untuk menghindari hal ini.

C. Mengurangi Resiko Pemakaian Energi Listrik
Energi listrik adalah sebuah energi yang bertegangan tinggi. Jika tidak digunakan secara aman, energi listrik ini akan sangat berbahaya terutama bagi manusia. Beberapa resiko yang sering terjadi adalah adanya beberapa orang yang meninggal dunia akibat tersengat aliran listrik. Selain itu, terdapat pula kasus rumah yang terbakar akibat terjadi hubungan pendek pada arus listrik serta penggunaan listrik yang melampaui batas.
Di sisi lain, energi listrik terutama yang dibangkitkan dengan menggunakan bahan bakar batu bara, selain akan menguras sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, dalam jangka panjang juga akan menimbulkan efek lain berupa pemanasan global. Pemanasan global (global warming) ini sangat berbahaya karena dapat mengakibatkan perubahan iklim, naiknya permukaan air laut, kekeringan, angin badai, dan sebagainya. Kejadian-kejadian di atas dapat dijadikan refleksi bahwa listrik tidak bisa digunakan dengan sembarangan. Walaupun memberikan keuntungan dalam efisiensi dan efektivitas kerja, listrik ternyata bisa juga menimbulkan kerugian yang tidak ringan. Oleh karena itu, dalam penggunaan listrik haruslah bijak, teliti, cermat, memperhatikan keselamatan pengguna, serta hemat dan tidak berlebihan.

D. Perlunya Optimalisasi Penggunaan Energi Alami
Listrik sebenarnya hanyala sebuah alat bantu yang memberikan kemudahan dalam aktivitas manusia sehari-hari. Namun, yang terjadi manusia cenderung dimanjakan oleh hal tersebut. Hampir seluruh peralatan rumaah tangganya diganti dengan alat-alat listrik. Alasannya cukup simpel, agar aktivitas dapat terselesaikan tanpa perlu banyak mengelurkan tenaga. Padahal masih ada bentuk energi lain yang sebenarnya bisa dimanfaatkan tanpa harus mengeluarkan banyak tenaga. Energi alam, inilah bentuk energi alternatif yang bisa dioptimalkan untuk menghemat penggunaan energi listrik. Beberapa bentuk energi alam yang sangat potensial untuk dioptimalkan adalah energi matahari dan energi angin. Kedua bentuk energi tersebut disediakan oleh alam di mana-mana dan tanpa biaya. Energi matahari dapat dimanfaatkan untuk pencahayaan ruangan, terutama pada siang hari. Sedangkan energi angin pun dapat dimanfaatkan sebagai penghawa ruangan. Jika kedua energi alam tersebut dapat dimanfaatakan secara optimal dengan teknik yang tepat maka penggunaan lampu listrik untuk pencahayaan siang hari atau kipas angin dan AC untuk pengudaraan buatan menjadi tidak diperlukanlagi. Penggunaan listrik pun bisa menjadi lebih hemat.
*Yana adalah Aktivis Mahasiswa Bawean di Surabaya

No comments:

Post a Comment