Media Bawean, 9 Maret 2008
SEDERHANA, ramah, tulus, dan lurus. Kesan itu segera melekat di benak ketika berbincang dengan Haji Arfa'e (75), peraih penghargaan Kalpataru tahun 2001 dari Desa Sokaoneng, Kecamatan Tambak, Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur (Jatim).
Senyumnya selalu mengembang, meski baru usai dari perjalanan dengan kapal laut lebih dari 12 jam dari desanya ke pelabuhan Gresik. Tanpa melepas kaus berkerah yang lusuh dalam perjalanan, ia melapisi pakaiannya dengan kemeja batik. Ujarnya, "Saya memakai batik ini karena akan bertemu dengan Bupati Gresik, Robbach Masum."
Bupati Gresik memberinya sebuah traktor tangan untuk menggarap berhektar-hektar sawah yang berhasil diselamatkannya. Arfa'e sukses menghijaukan kembali Pulau Pasir Putih yang terletak 900 meter di sebelah barat desa tempat tinggalnya.
"Traktor tangan dan cangkul yang sungguh saya butuhkan. Barang itu lebih bermanfaat untuk membantu saya bekerja dari pada Kalpataru yang diberikan Ibu Megawati Soekarnoputri di Istana Negara tahun lalu," tutur Arfa'e sambil tetap tersenyum. "Penghargaan Kalpataru itu justru membuat kami sekeluarga repot, berbeban, dan tekor karena banyak pejabat yang datang berkunjung ke rumah atau mengundang kami datang ke tempat mereka."
Arfa'e bahkan lupa pada kategori apa penghargaannya tersebut. Ia hanya tahu bekerja menghijaukan Pantai Pasir Putih dengan ribuan tanaman bakau yang hingga sekarang terus berlangsung. Ia ingin mewujudkan kelestarian lingkungan yang menurut analisa sederhananya berdampak langsung pada penyelamatan penghidupannya dan ratusan petani lain di desanya. Hanya itu yang mendorongnya.
Dibutuhkan waktu panjang sebelum Arfa'e tergerak untuk menghijaukan Pantai Pasir Putih yang hampir musnah tenggelam. Masih segar dalam ingatan bapak sebelas anak ini, sekitar tahun 1950-an, Pantai Pasir Putih masih lebat ditumbuhi hutan bakau dan kaya akan hasil laut. Menjelang akhir tahun 1950, datang para penjarah dari luar pulau membabat habis bakau yang berusia ratusan tahun.
Karena pantai gundul, hantaman gelombang laut yang semula mengikis pesisir, juga menggerus ratusan hektar sawah di Desa Sokaoneng. Dalam beberapa tahun, sawah musnah. Warga desa beralih profesi menjadi nelayan. "Sepuluh tahun saya menjadi nelayan sampai akhirnya kesadaran menghijaukan kembali pantai itu muncul," katanya.
Ia berpikir, setelah pantai dan sawah musnah, tempat tinggalnya pun akan musnah dihantam gelombang. Hal itu hanya soal waktu. Kesadarannya makin membuahkan motivasi untuk bertindak lantaran Naimah, istrinya. "Setiap pulang melaut, istri saya selalu minta menukarkan hasil tangkapan dengan beras," ujarnya.
Ia menuturkan, pada akhir tahun 1967, sambil terus menatap puing-puing pantai yang menyebabkan lenyapnya sawah di desa, ia mengambil suatu ketetapan. Katanya, "Yang kami butuhkan bukan ikan, tetapi beras. Beras bisa dihasilkan jika ada sawah. Sawah tidak musnah seandainya hutan bakau di Pantai Pasir Putih tidak gundul. Karena itu, usai shalat subuh, saya bertekad menghijaukan kembali pantai tersebut dengan menanam pohon bakau."
Atas kesadaran tersebut, bersama istri, kesebelas anaknya, dan beberapa saudara, hari itu juga Arfa'e mulai bekerja mewujudkan tekadnya. Saat air surut, pasir dan karang disusun di sepanjang pantai sebagai pemecah dan penyangga ombak.
Satu per satu pohon bakau ditanam di pulau berjarak sekitar 900 meter dari desa tersebut. Saat air laut pasang, Arfa'e dan keluarganya beristirahat lantaran air laut yang mencapai setinggi dada dapat menghanyutkan mereka. Begitu air laut surut, kerja itu berlanjut, tidak peduli siang atau malam.
Karena dirasa tidak efisien dan sangat tergantung pada pasang surut air laut, Arfa'e membuat jembatan kayu penghubung desanya dengan pantai tersebut. Jembatan dengan panjang satu kilometer, lebar setengah meter, kedalaman sekitar dua meter, dan tinggi satu meter dari permukaan laut itu selesai dikerjakan tujuh tahun kemudian.
"Bersamaan dengan selesainya jembatan, Pulau Pasir Putih juga mulai menghijau. Penanaman bakau makin intensif setelah jembatan kayu tersebut selesai," paparnya.
Bersamaan dengan itu, ratusan hektar sawah yang semula musnah, perlahan-lahan dapat diselamatkan. Arfa'e dan sejumlah warga Desa Sokaoneng mulai kembali bertani. Di samping bertani, Arfa'e tetap tekun mewujudkan tekadnya melestarikan lingkungan alam Pulau Pasir Putih seperti yang kental diingatnya ketika menginjak dewasa.
"Menanam bakau itu tidak mudah, butuh ketekunan dan kemauan untuk terus menjaganya supaya dapat tumbuh berkembang," ungkapnya.
Menurut Arfa'e, minggu-minggu awal penanaman bakau adalah saat yang sangat rentan. Pada saat bibit bakau mulai bercabang, di sekitarnya akan tumbuh lumut yang paling disenangi udang.
"Nelayan pencari udang yang tidak berpikir panjang akan asal menyerok, sehingga bibit-bibit bakau yang mulai tumbuh tercabut dan akhirnya mati. Mencegah itu, selain memberi peringatan, saya sendiri mengawasi tanaman tersebut siang dan malam," ujarnya.
Selain perlu diawasi, sampah berupa ranting atau tali yang tersangkut di sekitar tanaman bakau juga harus disiangi.
Semua ini ia lakukan karena kesadarannya yang hingga sekarang masih melekat kuat. Katanya, "Saya tidak mau mengalami kembali masa-masa sulit lantaran lenyapnya ratusan hektar sawah seperti puluhan tahun lalu karena gundulnya pulau tersebut."
KARENA ketekunan yang dilandasi tekad kuat tersebut, Arfa'e yang berdarah Madura dan sejak usia tujuh bulan sudah menetap di Pulau Bawean bersama orangtuanya, kini hidup nyaman bersama seorang istri dan enam dari sebelas anaknya (tiga meninggal dunia, dua merantau ke Malaysia) di lingkungan alam Pulau Bawean yang ramah.
Enam anaknya itu adalah Abdul Manaf, Suhuri, Mohammad, Rukia, Rasul, dan Fatahan. Dua anaknya yang merantau ke Malaysia adalah Adenia dan Mukim. Tiga anaknya yang sudah meninggal dunia adalah Masrupi, Junit, dan anak kedelapan yang meninggal ketika masih bayi belum sempat diberi nama. Karena banyak, Arfa'e sempat kagok ketika diminta menyebutkan satu per satu nama anaknya.
"Kini ikan-ikan kembali berdatangan. Karena airnya jernih dan pasirnya putih, dengan mudah dan jelas kelak-kelok ikan terlihat dari permukaan laut. Setiap akhir pekan, turis asing dari Malaysia dan Singapura senang datang berwisata ke sekitar pulau yang sekarang kembali menghijau tersebut," ujar kakek dari 45 cucu dan satu cicit ini.
Karena dasarnya ramah, kedatangan para turis yang mulai mengenal keindahan Pulau Bawean sejak tahun 1980-an ini membuat dia dan anggota keluarganya kerepotan dalam menjamu mereka. Maka Arfa'e menanam ratusan pohon kelapa dan berpesan kepada anak-anaknya untuk hanya memetik buahnya bagi para tamu dan tidak boleh dijual.
"Hanya itu yang bisa kami berikan selain terus menjaga kelestarian alam Pulau Bawean," ungkapnya.
Dengan cangkul, tekadnya untuk memperluas areal hutan bakau yang saat ini sudah mencapai 350 hektar akan makin terwujud lantaran puluhan ribu bibit bakau sudah tersedia dan siap ditanam.
dikutip dari catatan wisnu nugroho
SEDERHANA, ramah, tulus, dan lurus. Kesan itu segera melekat di benak ketika berbincang dengan Haji Arfa'e (75), peraih penghargaan Kalpataru tahun 2001 dari Desa Sokaoneng, Kecamatan Tambak, Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur (Jatim).
Senyumnya selalu mengembang, meski baru usai dari perjalanan dengan kapal laut lebih dari 12 jam dari desanya ke pelabuhan Gresik. Tanpa melepas kaus berkerah yang lusuh dalam perjalanan, ia melapisi pakaiannya dengan kemeja batik. Ujarnya, "Saya memakai batik ini karena akan bertemu dengan Bupati Gresik, Robbach Masum."
Bupati Gresik memberinya sebuah traktor tangan untuk menggarap berhektar-hektar sawah yang berhasil diselamatkannya. Arfa'e sukses menghijaukan kembali Pulau Pasir Putih yang terletak 900 meter di sebelah barat desa tempat tinggalnya.
"Traktor tangan dan cangkul yang sungguh saya butuhkan. Barang itu lebih bermanfaat untuk membantu saya bekerja dari pada Kalpataru yang diberikan Ibu Megawati Soekarnoputri di Istana Negara tahun lalu," tutur Arfa'e sambil tetap tersenyum. "Penghargaan Kalpataru itu justru membuat kami sekeluarga repot, berbeban, dan tekor karena banyak pejabat yang datang berkunjung ke rumah atau mengundang kami datang ke tempat mereka."
Arfa'e bahkan lupa pada kategori apa penghargaannya tersebut. Ia hanya tahu bekerja menghijaukan Pantai Pasir Putih dengan ribuan tanaman bakau yang hingga sekarang terus berlangsung. Ia ingin mewujudkan kelestarian lingkungan yang menurut analisa sederhananya berdampak langsung pada penyelamatan penghidupannya dan ratusan petani lain di desanya. Hanya itu yang mendorongnya.
Dibutuhkan waktu panjang sebelum Arfa'e tergerak untuk menghijaukan Pantai Pasir Putih yang hampir musnah tenggelam. Masih segar dalam ingatan bapak sebelas anak ini, sekitar tahun 1950-an, Pantai Pasir Putih masih lebat ditumbuhi hutan bakau dan kaya akan hasil laut. Menjelang akhir tahun 1950, datang para penjarah dari luar pulau membabat habis bakau yang berusia ratusan tahun.
Karena pantai gundul, hantaman gelombang laut yang semula mengikis pesisir, juga menggerus ratusan hektar sawah di Desa Sokaoneng. Dalam beberapa tahun, sawah musnah. Warga desa beralih profesi menjadi nelayan. "Sepuluh tahun saya menjadi nelayan sampai akhirnya kesadaran menghijaukan kembali pantai itu muncul," katanya.
Ia berpikir, setelah pantai dan sawah musnah, tempat tinggalnya pun akan musnah dihantam gelombang. Hal itu hanya soal waktu. Kesadarannya makin membuahkan motivasi untuk bertindak lantaran Naimah, istrinya. "Setiap pulang melaut, istri saya selalu minta menukarkan hasil tangkapan dengan beras," ujarnya.
Ia menuturkan, pada akhir tahun 1967, sambil terus menatap puing-puing pantai yang menyebabkan lenyapnya sawah di desa, ia mengambil suatu ketetapan. Katanya, "Yang kami butuhkan bukan ikan, tetapi beras. Beras bisa dihasilkan jika ada sawah. Sawah tidak musnah seandainya hutan bakau di Pantai Pasir Putih tidak gundul. Karena itu, usai shalat subuh, saya bertekad menghijaukan kembali pantai tersebut dengan menanam pohon bakau."
Atas kesadaran tersebut, bersama istri, kesebelas anaknya, dan beberapa saudara, hari itu juga Arfa'e mulai bekerja mewujudkan tekadnya. Saat air surut, pasir dan karang disusun di sepanjang pantai sebagai pemecah dan penyangga ombak.
Satu per satu pohon bakau ditanam di pulau berjarak sekitar 900 meter dari desa tersebut. Saat air laut pasang, Arfa'e dan keluarganya beristirahat lantaran air laut yang mencapai setinggi dada dapat menghanyutkan mereka. Begitu air laut surut, kerja itu berlanjut, tidak peduli siang atau malam.
Karena dirasa tidak efisien dan sangat tergantung pada pasang surut air laut, Arfa'e membuat jembatan kayu penghubung desanya dengan pantai tersebut. Jembatan dengan panjang satu kilometer, lebar setengah meter, kedalaman sekitar dua meter, dan tinggi satu meter dari permukaan laut itu selesai dikerjakan tujuh tahun kemudian.
"Bersamaan dengan selesainya jembatan, Pulau Pasir Putih juga mulai menghijau. Penanaman bakau makin intensif setelah jembatan kayu tersebut selesai," paparnya.
Bersamaan dengan itu, ratusan hektar sawah yang semula musnah, perlahan-lahan dapat diselamatkan. Arfa'e dan sejumlah warga Desa Sokaoneng mulai kembali bertani. Di samping bertani, Arfa'e tetap tekun mewujudkan tekadnya melestarikan lingkungan alam Pulau Pasir Putih seperti yang kental diingatnya ketika menginjak dewasa.
"Menanam bakau itu tidak mudah, butuh ketekunan dan kemauan untuk terus menjaganya supaya dapat tumbuh berkembang," ungkapnya.
Menurut Arfa'e, minggu-minggu awal penanaman bakau adalah saat yang sangat rentan. Pada saat bibit bakau mulai bercabang, di sekitarnya akan tumbuh lumut yang paling disenangi udang.
"Nelayan pencari udang yang tidak berpikir panjang akan asal menyerok, sehingga bibit-bibit bakau yang mulai tumbuh tercabut dan akhirnya mati. Mencegah itu, selain memberi peringatan, saya sendiri mengawasi tanaman tersebut siang dan malam," ujarnya.
Selain perlu diawasi, sampah berupa ranting atau tali yang tersangkut di sekitar tanaman bakau juga harus disiangi.
Semua ini ia lakukan karena kesadarannya yang hingga sekarang masih melekat kuat. Katanya, "Saya tidak mau mengalami kembali masa-masa sulit lantaran lenyapnya ratusan hektar sawah seperti puluhan tahun lalu karena gundulnya pulau tersebut."
KARENA ketekunan yang dilandasi tekad kuat tersebut, Arfa'e yang berdarah Madura dan sejak usia tujuh bulan sudah menetap di Pulau Bawean bersama orangtuanya, kini hidup nyaman bersama seorang istri dan enam dari sebelas anaknya (tiga meninggal dunia, dua merantau ke Malaysia) di lingkungan alam Pulau Bawean yang ramah.
Enam anaknya itu adalah Abdul Manaf, Suhuri, Mohammad, Rukia, Rasul, dan Fatahan. Dua anaknya yang merantau ke Malaysia adalah Adenia dan Mukim. Tiga anaknya yang sudah meninggal dunia adalah Masrupi, Junit, dan anak kedelapan yang meninggal ketika masih bayi belum sempat diberi nama. Karena banyak, Arfa'e sempat kagok ketika diminta menyebutkan satu per satu nama anaknya.
"Kini ikan-ikan kembali berdatangan. Karena airnya jernih dan pasirnya putih, dengan mudah dan jelas kelak-kelok ikan terlihat dari permukaan laut. Setiap akhir pekan, turis asing dari Malaysia dan Singapura senang datang berwisata ke sekitar pulau yang sekarang kembali menghijau tersebut," ujar kakek dari 45 cucu dan satu cicit ini.
Karena dasarnya ramah, kedatangan para turis yang mulai mengenal keindahan Pulau Bawean sejak tahun 1980-an ini membuat dia dan anggota keluarganya kerepotan dalam menjamu mereka. Maka Arfa'e menanam ratusan pohon kelapa dan berpesan kepada anak-anaknya untuk hanya memetik buahnya bagi para tamu dan tidak boleh dijual.
"Hanya itu yang bisa kami berikan selain terus menjaga kelestarian alam Pulau Bawean," ungkapnya.
Dengan cangkul, tekadnya untuk memperluas areal hutan bakau yang saat ini sudah mencapai 350 hektar akan makin terwujud lantaran puluhan ribu bibit bakau sudah tersedia dan siap ditanam.
dikutip dari catatan wisnu nugroho
No comments:
Post a Comment