Oleh : Yana
Kabupaten Gresik mempunyai kawasan kepulauan yaitu Pulau Bawean dan beberapa pulau kecil di sekitarnya. Luas wilayah Pulau Bawean sekitar 196,11 Km2. Sedangkan luas wilayah perairan adalah 5.773,80 Km2 yang sangat potensial dari subsektor perikanan laut. Wilayah kepulauan Bawean dan pulau kecil sekitarnya yang meliputi wilayah Kecamatan Sangkapura dan Tambak berpusat di Sangkapura. Pulau Bawean berjarak 81 mill laut dari kota Gresik. Kondisi geografis tersebut menjadikan transportasi laut sebagai satu-satunya alternatif penghubung Pulau Bawean dengan kota Gresik.
Hingga akhir 2007, pemberitaan Pulau Bawean di media massa (cetak dan elektronik) hanya seputar perkembangan pembangunan infrastruktur, pengiriman TKI (Tenaga Kerja Indonesia) ke luar negeri, aksi kawan-kawan mahasiswa yang tidak sepakat dengan kebijakan publik pemkab Gresik, dan kerja-kerja wakil rakyat dari pulau Bawean. Isu-isu diatas yang selalu mewarnai pemberitaan pulau Bawean hingga 10 (sepuluh) tahun terakhir.
Kini, pemberitaan pulau Bawean lebih sering tentang putusnya jalur laut penghubung Pulau Bawean dengan kota Gresik karena cuaca yang buruk, terlantarnya calon penumpang yang akan ke Bawean karena kehabisan bekal, krisis sembako di Bawean karena stock dari daratan Jawa tidak dapat dikirim mengingat tidak ada kapal yang berani mengangkut sembako tersebut, dan bencana alam karena tanah longsor yang menyebabkan puluhan rumah rata oleh tanah.
Cuaca buruk selalu datang dan dapat diprediksi oleh Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG). Tapi solusi strategis menghadapi cuaca buruk tidak pernah disiapkan oleh Pemkab Gresik. Akhirnya, selalu terjadi krisis sembako di Bawean ketika cuaca buruk itu datang, harga bahan-bahan pokok melonjak drastis, banyak calon penumpang yang terlantar, banyak pasien-pasien kritis yang tak terselamatkan. Pemkab Gresik selalu LAMBAT merespon permasalahan di Bawean !!
Pemkab Gresik mendatangkan Kapal Perang milik TNI AL untuk mengangkut calon penumpang dan bahan pokok, ketika masyarakat Bawean melakukan aksi turun jalan. Sampai kapan Pemkab Gresik harus dibangunkan kesadarannya atas tanggungjawabnya terhadap masyarakat dengan aksi turun jalan? Pemkab Gresik masih memahami DEMOKRASI sebagai wacana ilmiah tanpa aktualisasi yang rasional. Padahal amanat otonomi daerah adalah menumbuhkan kearifan lokal.
Saat ini, cuaca buruk tidak hanya menyebabkan permasalahan diatas, tapi Bawean mulai diserang bencana alam tanah longsor. Ini fenomena baru bagi masyarakat Bawean karena ini kejadian pertama kali sejak pulau kecil ini ditemukan dan diberi nama Bawean. Bencana alam ini telah menyebabkan putusnya jembatan penghubung dan hancurnya puluhan rumah di desa Candi Paromaan. Pemerintah selalu menghitung berapa besar kerugian materi dari bencana alam tersebut, tanpa mau menghitung dampak Psikologis bagi masyarakat Bawean.
Bencana alam di Bawean mulai dipolitisir oleh beberapa orang, kelompok, dan instansi. Masyarakat tidak diberi kesempatan untuk berpikir faktor penyebab bencana alam tersebut. Yang terjadi, masyarakat Bawean semakin jauh dari rasionalitas dalam mengkaji kejadian alam (bencana alam).
Pola pikir masyarakat dipaksa untuk membenarkan bahwa bencana alam terjadi karena “roh-roh” yang menjaga pulau Bawean mulai murkah dengan rencana menjadikan Bawean sebagai pulau pariwisata. Masyarakat mulai menyakini bahwa Danau Kastoba marah hingga meluapkan airnya dan menyebabkan banjir. Akhirnya, masyarakat dipaksa untuk tidak menyepakati rencana menjadikan pulau Bawean sebagai pulau pariwisata.
Padahal, bencana alam yang terjadi tidak lain dikarenakan oleh hutan Bawean yang mulai gundul. Pohon-pohon di Bawean mulai ditebang untuk dijadikan komuditi bisnis. Tentunya praktek ilegal loging dilakukan masyarakat Bawean sendiri dan mendapat rekomendasi dari Dinas Kehutanan. Bentuk nakal dari konspirasi pengusaha vs dinas kehutanan. Akhirnya masyarakat kecil yang menjadi korban dari konspirasi tersebut.
Rekomendasi untuk Pemkab dan Masyarakat Bawean adalah : Membangun kemandirian ekonomi sektor pertanian. Faktanya, hingga saat ini kebutuhan pokok masyarakat Bawean didatangkan dari daratan Jawa. Jika kondisi ini dibiarkan, maka akan memperparah ketergantungan pangan masyarakat Bawean. Bukankah lahan pertanian di Bawean masih membentang dan subur?
Pemerintah Gresik harus lebih responsif terhadap pembangunan di Bawean, baik pembangunan fisik maupun manusia, serta regulsi yang berpihak pada masyarakat kecil. Contoh : kebijakan penetapan HET (Harga Eceran Tertinggi) BBM, tarif kapal Bawean-Gresik yang tidak rasional (menurut dinas perhubungan Jatim, tarif kapal berkisar Rp.600-Rp.1000/mill) padahal jarak Bawean-Gresik 80 mill.
Menghentikan konspirasi busuk antara pengusaha Vs Dinas Kehutanan, sehingga tidak ada lagi penebangan hutan secara liar. Segera mungkin melakukan reboisasi.
Stop politisasi permasalahan rakyat ke ranah politik.
Stop klenikisme, dan mari bangun kesadaran berpikir masyarakat ke arah yang ilmiah dan rasional.
( PEMIKIR - PEJUANG, PEJUANG – PEMIKIR )
Yana : Aktivis Mahasiswa Bawean di Surabaya
No comments:
Post a Comment