Bila Malaysia dan Singapura Tidak Ada, Bawean Tidak Ada
Sumber : Suara Pembaharuan
Sumber : Suara Pembaharuan
"Jauh sebelum ada TKI, orang-orang Bawean sudah merantau. Dan mereka ini punya konsep merantau. Suatu ketika nanti, mereka akan kembali ke Bawean."
Kapal mesin dengan bobot 350 ton siap di dermaga Gresik. Kapal itu, KM Reny, mengangkut berbagai barang mewah. Kompor gas, antena parabola, televisi warna berlayar lebar, home video, serta pria dan wanita yang bicara dalam bahasa Melayu bercampur Inggris.
Mereka ini adalah sebagian dari ribuan perantau sukses asal Bawean, sebuah pulau yang luasnya cuma 188,75 km di utara Jawa. Mereka baru kembali dari Malaysia dan Singapura.
Di kantong mereka, terselip sedikitnya 5.000 ringgit Malaysia (1 ringgit = Rp 986,00), atau 7.000 dolar Singapura (1 dolar Singapura = Rp 1.650,00). Menurut Ir. Syariful Mizan, 40 tahun, pengusaha muda pemilik Mara Money Changer di Bawean, pada setiap bulan puasa, dan Maulud Nabi, ribuan perantau kembali ke Bawean untuk merayakan hari-hari besar itu bersama keluarga.
Kalau tidak membawa ringgit dan dolar Singapura, sebagian di antara mereka membawa mata uang Amerika Serikat, Jerman, Arab dan berbagai mata uang lainnya dari berbagai kota di dunia. Alasannya, menurut Mizan, mereka tidak sempat menukar uang-uang itu sebelum kembali ke Bawean.
Bagi orang Bawean, waktu benar-benar berarti uang. Untuk menukar uang ke kantor penukarannya yang letaknya agak jauh, berarti meninggalkan pekerjaan. Alasan lainnya, menyimpan mata uang asing sama dengan menyimpan emas. Nilainya tidak menurun, berbeda dengan menyimpan rupiah. Membawa mata uang asing juga praktis. "Membawa lima lembar ribuan uang ringgit sama dengan Rp 4,8 juta lebih," ujar Mizan, "sedangkan membawa rupiah dalam jumlah itu, tebalnya tak mungkin bisa masuk kantong."
Suku Perantau
Penduduk pulau dengan dua kecamatan itu mempunyai jalur pelayaran langsung ke Tanjung Pinang, Singapura, Malaysia, Pulau Christmas (Christmas Island) dan Australia.
Desa Lebak, Kecamatan Sangkapura, terlihat lengang. Ternyata sebagian besar warganya merantau ke Australia, dan Pulau Christmas, sebagian kecil ke Singapura dan Malaysia.
Warga Desa Teluk Dalam, sebagian besar merantau ke Singapura. Warga Desa Diponggo ke Jakarta. Warga Desa Pudakit, sebagian besar ke Malaysia, sebagian kecil ke Solo, dan Tulungagung.
Entah siapa yang memulai, menurut HM Saleh, 69 tahun, keluarga dekatnya yang sekarang merantau, merupakan generasi keempat.
Bahkan menurut Baharuddin, SH, sekretaris umum Yayasan Pengembangan Pulau Bawean kepada Mutiara, Kamis (23/1) lalu, orang-orang Bawean telah merantau ke Singapura dan Malaysia sejak tahun 1830.
"Tahun 1879, jumlah orang Bawean di Singapura saja telah mencapai 763 jiwa. Dan tahun 1957 mencapai 22.000 lebih," ujarnya sambil mengutip makalah Dr. Jacob Vredenbergt dari Universitas Leiden. Vrederbergt, seorang ahli tentang Bawean.
Menurut makalah Vredenbergt, ras Bawean di Singapura terkenal dengan sebutan Boyanese. Dan komunitas mereka di sana diakui oleh pemerintah Singapura, sehingga Persatuan Bawean Singapura (PBS) yang dipimpin oleh H. Muhammad Buang, amat diperhitungkan.
Bahasa Bawean, mirip bahasa Madura, dengan dialek Kangean, namun amat dipengaruhi bahasa Melayu dan Inggris.
Barangkali orang tidak percaya akan informasi ini, orang-orang Bawean yang merantau ke seluruh dunia, seperti Singapura, Malaysia, Australia, Jerman, Amerika, Kanada, mencapai lebih dari 400.000 jiwa.
"Tetapi di Bawean sendiri, jumlah penduduknya tak beranjak dari angka 60.000 hingga 65.000 jiwa," tutur Baharuddin. Pada sensus Pemilu tahun 1996, tercatat 63.597 jiwa. Sejumlah 23.090 jiwa di Kecamatan Tambak, dan 40.507 jiwa di Kecamatan Sangkapura.
Ia tidak setuju orang-orang Bawean digolongkan sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI). "Jauh sebelum ada TKI, orang-orang Bawean sudah merantau. Dan mereka ini punya konsep merantau. Suatu ketika nanti, mereka akan
kembali ke Bawean."
Ada adagium mengenai orang-orang Bawean. Pulau Bawean bukanlah pulau untuk hidup, tetapi untuk lahir dan mati. Memang menurut pengamatan Mutiara, terbanyak yang ditemui adalah anak-anak dan mereka yang berusia lanjut.
Anak-anak yang telah dewasa, biasanya dikirim orang tuanya ke luar negeri untuk menjadi pekerja di restoran, toko roti, perkebunan kelapa sawit, bangunan, kapal atau berwiraswasta dengan membuka warung nasi, rokok dan lain-lain. Tetapi yang unik, tidak ada mereka yang menjadi pembantu rumah tangga.
Nikmah, 30 tahun, yang ditemui Mutiara di atas KM Reny, Selasa (21/1) lalu mengaku telah merantau ke Malaysia sebelas tahun. Gadis tamatan sekolah madrasah, atau kelas II SMP di Bawean itu bekerja di sebuah toko roti dengan gaji 700 ringgit sebulan. Setelah dikurangi biaya kos 250 ringgit, dan makan serta kebutuhan lain 300 ringgit, Nikmah masih bisa menabung sebanyak 150 ringgit sebulan. Bila lebih berhemat lagi, ia bisa menabung 250 ringgit.
Di Surabaya, Nikmah memborong antena parabola, televisi warna berlayar lebar dan kompor gas seharga lebih dari Rp 6 juta. Sudah begitu, Nikmah masih menunjukkan sisa uangnya tujuh lembar ribuan uang ringgit (= Rp 6.751.000). Nikmah berjanji kembali ke Johor Baru, sebelum Lebaran. "Soalnya saya hanya izin seminggu," katanya.
Kisah Juhri bin Hakiman, 49 tahun, buruh bangunan di Malayisa yang juga memborong barang-barang mewah di Surabaya dan mengangkutnya dengan kapal ke Sangkapura, Bawean, lebih menggiurkan lagi. Dengan berseri-seri ia mengisahkan gaji yang diterimanya sejak tahun 1978, waktu itu jumlahnya 50 ringgit (= Rp 43.150,00) per hari. Ayah empat anak, dan kakek dua cucu itu, kini menerima tidak kurang dari 80 ringgit (Rp 77.000 lebih) sehari.
Anak cucu Juhri menetap di Malaysia.
Lebih Ringan
Peraturan di Malaysia, meski belakangan ini diakuinya makin ketat, tetap dirasakannya lebih ringan dibanding dengan peraturan di Indonesia yang dianggapnya berbelit-belit. Dengan 40 ringgit (Rp 38.500 lebih), ia bisa memperoleh stempel pada izin tinggalnya sebagai perpanjangan. Dengan 360 ringgit, ia bisa memperoleh stempel untuk keluar-masuk Malaysia sebanyak tiga kali dalam setahun. "Herannya, urusan gampang ini bisa diperoleh di Kedubes Indonesia di Malaysia. Jangan diharap bisa mendapat kemudahan yang sama di Indonesia," ujar Juhri.
Juhri bercerita, keluarga Bawean yang tergolong miskin di Malaysia, mengikuti arisan 100 ringgit per bulan. Ukuran miskin adalah yang bergaji 500 ringgit (= Rp 481.500,00). Ia sendiri mengikuti arisan tersebut bersama dengan warga Kampung Perumahan Tambak Bawean, Malaysia. Mereka adalah warga yang berasal dari Desa Tambak di Bawean.
Tahun silam, Juhri membangun jembatan antara Sangkapura-Kastoba seharga Rp 8 juta dari kantongnya sendiri. Tahun ini bersama warga sekampungnya mereka membangun mesjid mewah seharga Rp 60 juta.
Abdullah Makhfoed, seorang da'i asal Probolinggo yang hijrah ke Bawean bersyukur. "Untung ada keterbukaan pemerintah Malaysia dan Singapura," katanya, "kalau tidak, periuk nasi orang Bawean terguling."
Ia kemudian berhitung, Singapura tidak punya utang, tapi rakyatnya makmur. "Lha, negeri kita ini punya utang dua ratus triliun rupiah. Kok rakyatnya malah cari makan ke Singapura, ke Malaysia."
Makhfoed mengaku ikut mencicipi kesejahteraan yang ditawarkan Mahathir dan Goh Cok Tong. (Dua nama ini demikian populernya di Bawean, sehingga jalan-jalan raya yang dibangun dari duit para perantau di Bawean disebut sebagai Jalan Goh Cok Tong, Jalan Mahathir, dan Jalan Pak Harto. Artinya, jalan tersebut dibangun dengan ringgit Malaysia - bergambar Mahathir, dolar Singapura - bergambar Lee Kuan Yew, dan rupiah - bergambar Pak Harto. Ada juga Jalan Australia, Amerika atau Jerman, namun yang terbanyak dan yang termulus adalah Jalan Goh Cok Tong dan Jalan Mahathir. Karena perantau yang terbanyak jumlah dan kirimannya, adalah di dua negara itu).
Di Probolinggo, sebagai kuli batu, Makhfoed menerima upah Rp 4.500,00, tetapi di Bawean, ia dibayar Rp 9.000,00. "Itu 'kan karena tingginya upah yang diterima orang-orang Bawean di sana (maksudnya Malaysia dan Singapura)," katanya.
Tingginya pendapatan para perantau Bawean, diakui oleh Mizan. "Transaksi (penukaran uang) di sini tinggi sekali," ujar sarjana peternakan Universitas Islam Malang (Unisma) itu kepada Mutiara, Kamis (23/1) silam. Ia menolak menjelaskan berapa nominal transaksinya tiap hari dengan alasan keamanan. Ia juga melayani penukaran mata uang emas Amerika terbitan abad XVIII dan sesudahnya. Tiap keping uang terbitan abad XVIII ini harganya sekitar Rp 700.000.
Usaha penukaran uang milik Mizan yang telah berjalan tiga tahun itu amat laris, karena di Bawean memang belum ada bank. Yang unik, orang-orang Bawean kurang tertarik melakukan transaksi dengan rupiah, sehingga di Sangkapura saja terdapat tidak kurang dari duapuluh usaha penukaran uang. Yang terbesar adalah Mara, milik Mizan.
Mizan merisaukan makin banyaknya orang Bawean yang merantau dibanding dengan yang tinggal. "Meski oleh perantauan mereka itu, usaha saya meningkat pesat," ucapnya sambil tertawa.
Warga Bawean yang masih tersisa, menurut Mizan, akan terus berkurang. Mengingat, anak-anak Bawean yang lahir dari pernikahan campur dengan warga Malaysia, segera kembali ke Malaysia begitu lulus dari Pondok Pesantren Nurul Jadid, Desa Paiton, Probolinggo. "Praktis di sini mereka cuma sekolah ngaji. Begitu memperoleh IC (identity card) dari pemerintah Malaysia, langsung dibawa orang tuanya kembali ke Malaysia," tuturnya khawatir, "Pulau Bawean bisa kosong." Untuk memperoleh IC itu, cukup mengirimkan pasfoto ke keluarga yang tinggal di Malaysia, atau Singapura. Yang bersangkutan, tinggal berangkat dengan paspor Indonesia, dan setibanya di salah satu dari kedua negeri itu (atau negeri-negeri lainnya), paspor Indonesia mereka dimatikan.
Tentu saja semua ini dimungkinkan karena komunitas orang-orang Bawean Perantauan (Overseas Boyanese Indonesian) begitu kuatnya.
Emas-Perak
Orang-orang Bawean, baik yang menikah dengan orang Malaysia maupun yang tidak, mengaku lebih memilih tinggal di Malaysia untuk hidup. Alasannya, menurut Mizan, pemerintah Malaysia amat mengutamakan pribumi. "Pribumi di sana jadi emas betul. Kami yang pendatang ini, meski diperlakukan sebagai perak, bisa memahaminya," katanya.
Perusahaan-perusahaan yang menginginkan go public, oleh pemerintah Malaysia diharuskan menjual sahamnya kepada pribumi lebih dulu, dengan harga yang tentunya lebih rendah.
Anak-anak Bawean, ujar Mizan yang setiap tahun dua kali ke Malaysia dan Singapura untuk melihat pasar uang itu, biasa naik mobil sport atau mobil mewah. Padahal, mereka hanya bekerja sebagai penjual ikan. "Meskipun ada juga di antara mereka yang berprofesi sebagai mafia," tuturnya.
Pajero, menurut Mizan cuma seharga 80.000 ringgit, dan itu terjangkau oleh rata-rata perantau Bawean.
Diakui, penjual ikan bukan pekerjaan ringan, karena harus bekerja sejak pukul 02.00 dini hari hingga pukul 08.00 pagi. Dari sejak mencari ikan di laut hingga menjualnya di pasar.
"Karena itu, bila tak ada Malaysia, tak ada Singapura, tak ada juga Bawean," tuturnya bersungguh-sungguh. Pendapatnya itu berdasarkan fakta, 80 persen santri di pondok-pondok se-Jawa Timur ini adalah anak-anak yang lahir dari pernikahan campur Bawean dan Malaysia.
Ada satu pengalaman seorang nakhoda kapal berukuran 30 ton, yang ikut menambah kisah-kisah perantau Bawean ini. Si nakhoda, Azril, pertengahan 1996 silam membawa perahu yang terhitung kecil untuk perjalanan yang menempuh rute Bawean-Riau-Batam-Singapura-Malaysia. Perahu itu membawa ratusan botol berisi madu, tikar, dan 30 penumpang. Ketigapuluh orang itu kemudian diaku sebagai anak buah kapal (ABK). Azril diprotes oleh para nakhoda Singapura, karena perjalanan Bawean-Singapura yang ditempuhnya dalam tujuh hari itu tanpa membawa peta. Azril, orang Bawean yang berdarah perantau itu hanya berbekal pengalaman melihat bintang.
Desa IDT
Di Desa Sungai Teluk, sedikitnya terdapat 50 antena parabola bertengger di rumah-rumah penduduk. Uniknya, desa itu tergolong desa penerima IDT (Inpres Desa Tertinggal) yang menerima Rp 20 juta itu.
Desa Grejek, Kecamatan Tambak, yang berpenduduk 824 jiwa, atau 100 kk, juga termasuk penerima IDT. Padahal, warganya menggunakan kompor gas untuk memasak, dan puluhan antena parabola bertengger di rumah-rumah mereka.
Tidak jelas, digunakan untuk apa dana tersebut, mengingat hanya satu rumah di Desa Sungai Teluk, yang dindingnya terbuat dari bambu. Desa ini oleh penduduk disebut sebagai Desa Mahathir, karena jalan desa dan dusunnya dibangun dari kiriman keluarga mereka yang bekerja di Malaysia. Ringgit, jangan lupa, bergambar Mahathir.
Sedangkan Desa Lebak yang cantik di kaki bukit dengan sawahnya yang hijau dan rapi itu dikenal sebagai Desa Australia, atau Desa Christmas. Warganya merantau ke dua wilayah itu sebagai awak kapal dan pedagang.
Kemashyuran perantau Bawean, juga terlihat dari pembangunan instalasi air bersih di Desa Menarah, Kecamatan Sangkapura. Instalasi yang menelan biaya Rp 60 juta itu seluruhnya ditanggung para perantau Bawean di Singapura dan Malaysia. Pipa yang digunakan menyalurkan air bersih dari penampungan ke rumah-rumah warga, bukan sembarang pipa. Mereka memilih pipa yang terbuat dari bahan karet, anti-pecah.
Rumah-rumah warga Desa Menara bergenteng beton dengan cat warna pastel.
Para pekerja kasar di Bawean, umumnya pendatang. "Karena itu mudah mengidentifikasi, mana sawah milik orang Bawean dan mana sawah milik orang Madura," tutur Baharuddin. Sawah milik warga Bawean, biasanya kotor, sedang milik warga Madura, bersih. Tidak ada orang Bawean menarik becak, atau membuka warung di kampung halaman mereka sendiri.
Ny. Asnawi, 50 tahun, misalnya. Setelah Asnawi, suaminya pensiun sebagai komandan Koramil Sangkapura, ia enggan kembali ke kampung halamannya, Probolinggo. "Langganan saya di sini sudah banyak," ujarnya kepada Mutiara di warung nasinya, di Pasar Sangkapura. Ia mengaku kerasan tinggal di Bawean. Asnawi, menurut Ny. Asnawi, kini bekerja sebagai satpam di PLTU Paiton.
Paspor Malaysia
Para perantau Bawean yang tergolong sukses itu, belakangan bukan tidak menghadapi masalah, dengan kian ketatnya peraturan yang diterapkan pemerintah Malaysia. Dan pemulangan besar-besaran TKI pun dilakukan, di samping ribuan lainnya harus meringkuk terlebih duhulu di sel-sel rumah tahanan negeri jiran itu.
Pada 3 Januari lalu, dengan menggunakan KRI Tanjung Oisiona milik TNI AL, 963 TKI dibawa pulang dari Malaysia. Di antara mereka, ada yang diusir bahkan ada yang sempat mendekam di penjara Malaysia karena dianggap pendatang gelap.
Nah, 24 orang di antara yang dipulangkan tersebut adalah warga Bawean. Semua orang Bawean menjadi terkejut. Warga Bawean gagal merantau, sejak kapan?
Kepada Mutiara, Baharuddin mengatakan, warga Bawean yang ditangkap itu kebanyakan sudah berada di bandar udara. Menjelang keberangkatan pesawat, tiba-tiba polisi Malaysia menggerebek mereka dalam operasi imigrasi, serta menangkap mereka dengan tuduhan pendatang haram.
Sebenarnya mereka ini sudah memiliki IC dan paspor Malaysia. Namun mereka hanya menunjukkan paspor Indonesia yang sudah (di)-mati-(kan), dan tidak mengaku telah memiliki IC apalagi paspor Malaysia. Salah seorang perantau muda yang ditemui Mutiara misalnya, meng-aku sengaja tidak menunjukkan IC-nya.
"Saya sebenarnya ingin tinggal di Indonesia lebih lama, sambil menunggu per-nikahan," ujar pemuda yang keberatan disebut namanya itu. Atas alasan tersebut, ia tidak menunjukkan IC-nya karena hukumannya akan lebih berat, misalnya IC itu digunting. Itu artinya ia tidak dapat kembali ke Malaysia. "Padahal setelah menikah nanti saya akan kerja di Malaysia lagi," katanya. Paspor Indonesia yang ditunjukkannya kepada petugas imigrasi Malaysia, ternyata palsu.
Foto
Memperoleh paspor Malaysia, bagi perantau Bawean bukan masalah. Mereka yang sudah lama tinggal di sana cukup menerima kiriman foto dari calon perantau, untuk diuruskan IC di Malaysia. Si calon perantau, cukup berangkat ke Malaysia dengan paspor Indonesia. Setiba di sana, paspor tersebut dimatikan. Bila tidak, untuk memperpanjang izin tinggal, urusan akan menjadi panjang dan bertele-tele.
Anak muda itu kemudian juga mengaku, penggerebekan tersebut tidak lain akibat persaingan antar-tekong, perantau Bawean menyebutnya sebagai pengawal. Maksudnya agar calon-calon perantau yang akan datang tidak lagi menggunakan jasa pengawal yang memberikan paspor yang kemudian terbukti palsu itu.
Malaysia, menurut cerita para perantau Bawean, adalah tempat yang enak untuk menjebloskan orang ke penjara. Para tekong, atau pengawal tadi saling lapor ke polisi, untuk menjatuhkan reputasi sesama pengawal. Di Bawean, terdapat tidak kurang dari 30 pengawal. (Pengawal adalah orang yang membawa warga Bawean ke Malaysia, Singapura atau negeri lainnya. Pengawal mengurus semua keperluan dan perlengkapan bahkan semua pengeluaran yang diperlukan untuk membiayai keberangkatan calon perantau Bawean ini. Kalau si perantau muda itu belum mendapat pekerjaan, atau belum menerima bayaran atas pekerjaannya karena masih baru, upah bagi jasa pengawal ditanggung oleh keluarga si perantau muda itu).
Benarkah, pemulangan para pendatang haram tersebut akan menghentikan, atau sedikitnya mengurangi perantauan besar-besaran ke negeri-negeri yang didatangi oleh perantau-perantau Bawean itu?
"Mereka ini suku perantau, jauh sebelum program TKI. Karena itu, jangan lupa, mereka mempunyai konsep tentang merantau. Tanpa diusir pun mereka akan kembali ke Bawean setelah jompo nanti. Mereka ini juga memiliki IC bahkan paspor Malaysia, dengan alasan apa mereka bisa diusir, kecuali memang ada hal-hal yang justru menguntungkan di balik pengusiran itu?" tanya Baharuddin.
Lagi pula, sebagaimana dinyatakan Nikmah dan Juhri, mungkin ribuan perantau Bawean lainnya, dengan apa periuk nasi dijerang, jalan-jalan dibuka, mesjid-mesjid didirikan, pengolahan air bersih dibangun, kalau bukan lantaran ringgit dan dolar?
- Retno
Kapal mesin dengan bobot 350 ton siap di dermaga Gresik. Kapal itu, KM Reny, mengangkut berbagai barang mewah. Kompor gas, antena parabola, televisi warna berlayar lebar, home video, serta pria dan wanita yang bicara dalam bahasa Melayu bercampur Inggris.
Mereka ini adalah sebagian dari ribuan perantau sukses asal Bawean, sebuah pulau yang luasnya cuma 188,75 km di utara Jawa. Mereka baru kembali dari Malaysia dan Singapura.
Di kantong mereka, terselip sedikitnya 5.000 ringgit Malaysia (1 ringgit = Rp 986,00), atau 7.000 dolar Singapura (1 dolar Singapura = Rp 1.650,00). Menurut Ir. Syariful Mizan, 40 tahun, pengusaha muda pemilik Mara Money Changer di Bawean, pada setiap bulan puasa, dan Maulud Nabi, ribuan perantau kembali ke Bawean untuk merayakan hari-hari besar itu bersama keluarga.
Kalau tidak membawa ringgit dan dolar Singapura, sebagian di antara mereka membawa mata uang Amerika Serikat, Jerman, Arab dan berbagai mata uang lainnya dari berbagai kota di dunia. Alasannya, menurut Mizan, mereka tidak sempat menukar uang-uang itu sebelum kembali ke Bawean.
Bagi orang Bawean, waktu benar-benar berarti uang. Untuk menukar uang ke kantor penukarannya yang letaknya agak jauh, berarti meninggalkan pekerjaan. Alasan lainnya, menyimpan mata uang asing sama dengan menyimpan emas. Nilainya tidak menurun, berbeda dengan menyimpan rupiah. Membawa mata uang asing juga praktis. "Membawa lima lembar ribuan uang ringgit sama dengan Rp 4,8 juta lebih," ujar Mizan, "sedangkan membawa rupiah dalam jumlah itu, tebalnya tak mungkin bisa masuk kantong."
Suku Perantau
Penduduk pulau dengan dua kecamatan itu mempunyai jalur pelayaran langsung ke Tanjung Pinang, Singapura, Malaysia, Pulau Christmas (Christmas Island) dan Australia.
Desa Lebak, Kecamatan Sangkapura, terlihat lengang. Ternyata sebagian besar warganya merantau ke Australia, dan Pulau Christmas, sebagian kecil ke Singapura dan Malaysia.
Warga Desa Teluk Dalam, sebagian besar merantau ke Singapura. Warga Desa Diponggo ke Jakarta. Warga Desa Pudakit, sebagian besar ke Malaysia, sebagian kecil ke Solo, dan Tulungagung.
Entah siapa yang memulai, menurut HM Saleh, 69 tahun, keluarga dekatnya yang sekarang merantau, merupakan generasi keempat.
Bahkan menurut Baharuddin, SH, sekretaris umum Yayasan Pengembangan Pulau Bawean kepada Mutiara, Kamis (23/1) lalu, orang-orang Bawean telah merantau ke Singapura dan Malaysia sejak tahun 1830.
"Tahun 1879, jumlah orang Bawean di Singapura saja telah mencapai 763 jiwa. Dan tahun 1957 mencapai 22.000 lebih," ujarnya sambil mengutip makalah Dr. Jacob Vredenbergt dari Universitas Leiden. Vrederbergt, seorang ahli tentang Bawean.
Menurut makalah Vredenbergt, ras Bawean di Singapura terkenal dengan sebutan Boyanese. Dan komunitas mereka di sana diakui oleh pemerintah Singapura, sehingga Persatuan Bawean Singapura (PBS) yang dipimpin oleh H. Muhammad Buang, amat diperhitungkan.
Bahasa Bawean, mirip bahasa Madura, dengan dialek Kangean, namun amat dipengaruhi bahasa Melayu dan Inggris.
Barangkali orang tidak percaya akan informasi ini, orang-orang Bawean yang merantau ke seluruh dunia, seperti Singapura, Malaysia, Australia, Jerman, Amerika, Kanada, mencapai lebih dari 400.000 jiwa.
"Tetapi di Bawean sendiri, jumlah penduduknya tak beranjak dari angka 60.000 hingga 65.000 jiwa," tutur Baharuddin. Pada sensus Pemilu tahun 1996, tercatat 63.597 jiwa. Sejumlah 23.090 jiwa di Kecamatan Tambak, dan 40.507 jiwa di Kecamatan Sangkapura.
Ia tidak setuju orang-orang Bawean digolongkan sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI). "Jauh sebelum ada TKI, orang-orang Bawean sudah merantau. Dan mereka ini punya konsep merantau. Suatu ketika nanti, mereka akan
kembali ke Bawean."
Ada adagium mengenai orang-orang Bawean. Pulau Bawean bukanlah pulau untuk hidup, tetapi untuk lahir dan mati. Memang menurut pengamatan Mutiara, terbanyak yang ditemui adalah anak-anak dan mereka yang berusia lanjut.
Anak-anak yang telah dewasa, biasanya dikirim orang tuanya ke luar negeri untuk menjadi pekerja di restoran, toko roti, perkebunan kelapa sawit, bangunan, kapal atau berwiraswasta dengan membuka warung nasi, rokok dan lain-lain. Tetapi yang unik, tidak ada mereka yang menjadi pembantu rumah tangga.
Nikmah, 30 tahun, yang ditemui Mutiara di atas KM Reny, Selasa (21/1) lalu mengaku telah merantau ke Malaysia sebelas tahun. Gadis tamatan sekolah madrasah, atau kelas II SMP di Bawean itu bekerja di sebuah toko roti dengan gaji 700 ringgit sebulan. Setelah dikurangi biaya kos 250 ringgit, dan makan serta kebutuhan lain 300 ringgit, Nikmah masih bisa menabung sebanyak 150 ringgit sebulan. Bila lebih berhemat lagi, ia bisa menabung 250 ringgit.
Di Surabaya, Nikmah memborong antena parabola, televisi warna berlayar lebar dan kompor gas seharga lebih dari Rp 6 juta. Sudah begitu, Nikmah masih menunjukkan sisa uangnya tujuh lembar ribuan uang ringgit (= Rp 6.751.000). Nikmah berjanji kembali ke Johor Baru, sebelum Lebaran. "Soalnya saya hanya izin seminggu," katanya.
Kisah Juhri bin Hakiman, 49 tahun, buruh bangunan di Malayisa yang juga memborong barang-barang mewah di Surabaya dan mengangkutnya dengan kapal ke Sangkapura, Bawean, lebih menggiurkan lagi. Dengan berseri-seri ia mengisahkan gaji yang diterimanya sejak tahun 1978, waktu itu jumlahnya 50 ringgit (= Rp 43.150,00) per hari. Ayah empat anak, dan kakek dua cucu itu, kini menerima tidak kurang dari 80 ringgit (Rp 77.000 lebih) sehari.
Anak cucu Juhri menetap di Malaysia.
Lebih Ringan
Peraturan di Malaysia, meski belakangan ini diakuinya makin ketat, tetap dirasakannya lebih ringan dibanding dengan peraturan di Indonesia yang dianggapnya berbelit-belit. Dengan 40 ringgit (Rp 38.500 lebih), ia bisa memperoleh stempel pada izin tinggalnya sebagai perpanjangan. Dengan 360 ringgit, ia bisa memperoleh stempel untuk keluar-masuk Malaysia sebanyak tiga kali dalam setahun. "Herannya, urusan gampang ini bisa diperoleh di Kedubes Indonesia di Malaysia. Jangan diharap bisa mendapat kemudahan yang sama di Indonesia," ujar Juhri.
Juhri bercerita, keluarga Bawean yang tergolong miskin di Malaysia, mengikuti arisan 100 ringgit per bulan. Ukuran miskin adalah yang bergaji 500 ringgit (= Rp 481.500,00). Ia sendiri mengikuti arisan tersebut bersama dengan warga Kampung Perumahan Tambak Bawean, Malaysia. Mereka adalah warga yang berasal dari Desa Tambak di Bawean.
Tahun silam, Juhri membangun jembatan antara Sangkapura-Kastoba seharga Rp 8 juta dari kantongnya sendiri. Tahun ini bersama warga sekampungnya mereka membangun mesjid mewah seharga Rp 60 juta.
Abdullah Makhfoed, seorang da'i asal Probolinggo yang hijrah ke Bawean bersyukur. "Untung ada keterbukaan pemerintah Malaysia dan Singapura," katanya, "kalau tidak, periuk nasi orang Bawean terguling."
Ia kemudian berhitung, Singapura tidak punya utang, tapi rakyatnya makmur. "Lha, negeri kita ini punya utang dua ratus triliun rupiah. Kok rakyatnya malah cari makan ke Singapura, ke Malaysia."
Makhfoed mengaku ikut mencicipi kesejahteraan yang ditawarkan Mahathir dan Goh Cok Tong. (Dua nama ini demikian populernya di Bawean, sehingga jalan-jalan raya yang dibangun dari duit para perantau di Bawean disebut sebagai Jalan Goh Cok Tong, Jalan Mahathir, dan Jalan Pak Harto. Artinya, jalan tersebut dibangun dengan ringgit Malaysia - bergambar Mahathir, dolar Singapura - bergambar Lee Kuan Yew, dan rupiah - bergambar Pak Harto. Ada juga Jalan Australia, Amerika atau Jerman, namun yang terbanyak dan yang termulus adalah Jalan Goh Cok Tong dan Jalan Mahathir. Karena perantau yang terbanyak jumlah dan kirimannya, adalah di dua negara itu).
Di Probolinggo, sebagai kuli batu, Makhfoed menerima upah Rp 4.500,00, tetapi di Bawean, ia dibayar Rp 9.000,00. "Itu 'kan karena tingginya upah yang diterima orang-orang Bawean di sana (maksudnya Malaysia dan Singapura)," katanya.
Tingginya pendapatan para perantau Bawean, diakui oleh Mizan. "Transaksi (penukaran uang) di sini tinggi sekali," ujar sarjana peternakan Universitas Islam Malang (Unisma) itu kepada Mutiara, Kamis (23/1) silam. Ia menolak menjelaskan berapa nominal transaksinya tiap hari dengan alasan keamanan. Ia juga melayani penukaran mata uang emas Amerika terbitan abad XVIII dan sesudahnya. Tiap keping uang terbitan abad XVIII ini harganya sekitar Rp 700.000.
Usaha penukaran uang milik Mizan yang telah berjalan tiga tahun itu amat laris, karena di Bawean memang belum ada bank. Yang unik, orang-orang Bawean kurang tertarik melakukan transaksi dengan rupiah, sehingga di Sangkapura saja terdapat tidak kurang dari duapuluh usaha penukaran uang. Yang terbesar adalah Mara, milik Mizan.
Mizan merisaukan makin banyaknya orang Bawean yang merantau dibanding dengan yang tinggal. "Meski oleh perantauan mereka itu, usaha saya meningkat pesat," ucapnya sambil tertawa.
Warga Bawean yang masih tersisa, menurut Mizan, akan terus berkurang. Mengingat, anak-anak Bawean yang lahir dari pernikahan campur dengan warga Malaysia, segera kembali ke Malaysia begitu lulus dari Pondok Pesantren Nurul Jadid, Desa Paiton, Probolinggo. "Praktis di sini mereka cuma sekolah ngaji. Begitu memperoleh IC (identity card) dari pemerintah Malaysia, langsung dibawa orang tuanya kembali ke Malaysia," tuturnya khawatir, "Pulau Bawean bisa kosong." Untuk memperoleh IC itu, cukup mengirimkan pasfoto ke keluarga yang tinggal di Malaysia, atau Singapura. Yang bersangkutan, tinggal berangkat dengan paspor Indonesia, dan setibanya di salah satu dari kedua negeri itu (atau negeri-negeri lainnya), paspor Indonesia mereka dimatikan.
Tentu saja semua ini dimungkinkan karena komunitas orang-orang Bawean Perantauan (Overseas Boyanese Indonesian) begitu kuatnya.
Emas-Perak
Orang-orang Bawean, baik yang menikah dengan orang Malaysia maupun yang tidak, mengaku lebih memilih tinggal di Malaysia untuk hidup. Alasannya, menurut Mizan, pemerintah Malaysia amat mengutamakan pribumi. "Pribumi di sana jadi emas betul. Kami yang pendatang ini, meski diperlakukan sebagai perak, bisa memahaminya," katanya.
Perusahaan-perusahaan yang menginginkan go public, oleh pemerintah Malaysia diharuskan menjual sahamnya kepada pribumi lebih dulu, dengan harga yang tentunya lebih rendah.
Anak-anak Bawean, ujar Mizan yang setiap tahun dua kali ke Malaysia dan Singapura untuk melihat pasar uang itu, biasa naik mobil sport atau mobil mewah. Padahal, mereka hanya bekerja sebagai penjual ikan. "Meskipun ada juga di antara mereka yang berprofesi sebagai mafia," tuturnya.
Pajero, menurut Mizan cuma seharga 80.000 ringgit, dan itu terjangkau oleh rata-rata perantau Bawean.
Diakui, penjual ikan bukan pekerjaan ringan, karena harus bekerja sejak pukul 02.00 dini hari hingga pukul 08.00 pagi. Dari sejak mencari ikan di laut hingga menjualnya di pasar.
"Karena itu, bila tak ada Malaysia, tak ada Singapura, tak ada juga Bawean," tuturnya bersungguh-sungguh. Pendapatnya itu berdasarkan fakta, 80 persen santri di pondok-pondok se-Jawa Timur ini adalah anak-anak yang lahir dari pernikahan campur Bawean dan Malaysia.
Ada satu pengalaman seorang nakhoda kapal berukuran 30 ton, yang ikut menambah kisah-kisah perantau Bawean ini. Si nakhoda, Azril, pertengahan 1996 silam membawa perahu yang terhitung kecil untuk perjalanan yang menempuh rute Bawean-Riau-Batam-Singapura-Malaysia. Perahu itu membawa ratusan botol berisi madu, tikar, dan 30 penumpang. Ketigapuluh orang itu kemudian diaku sebagai anak buah kapal (ABK). Azril diprotes oleh para nakhoda Singapura, karena perjalanan Bawean-Singapura yang ditempuhnya dalam tujuh hari itu tanpa membawa peta. Azril, orang Bawean yang berdarah perantau itu hanya berbekal pengalaman melihat bintang.
Desa IDT
Di Desa Sungai Teluk, sedikitnya terdapat 50 antena parabola bertengger di rumah-rumah penduduk. Uniknya, desa itu tergolong desa penerima IDT (Inpres Desa Tertinggal) yang menerima Rp 20 juta itu.
Desa Grejek, Kecamatan Tambak, yang berpenduduk 824 jiwa, atau 100 kk, juga termasuk penerima IDT. Padahal, warganya menggunakan kompor gas untuk memasak, dan puluhan antena parabola bertengger di rumah-rumah mereka.
Tidak jelas, digunakan untuk apa dana tersebut, mengingat hanya satu rumah di Desa Sungai Teluk, yang dindingnya terbuat dari bambu. Desa ini oleh penduduk disebut sebagai Desa Mahathir, karena jalan desa dan dusunnya dibangun dari kiriman keluarga mereka yang bekerja di Malaysia. Ringgit, jangan lupa, bergambar Mahathir.
Sedangkan Desa Lebak yang cantik di kaki bukit dengan sawahnya yang hijau dan rapi itu dikenal sebagai Desa Australia, atau Desa Christmas. Warganya merantau ke dua wilayah itu sebagai awak kapal dan pedagang.
Kemashyuran perantau Bawean, juga terlihat dari pembangunan instalasi air bersih di Desa Menarah, Kecamatan Sangkapura. Instalasi yang menelan biaya Rp 60 juta itu seluruhnya ditanggung para perantau Bawean di Singapura dan Malaysia. Pipa yang digunakan menyalurkan air bersih dari penampungan ke rumah-rumah warga, bukan sembarang pipa. Mereka memilih pipa yang terbuat dari bahan karet, anti-pecah.
Rumah-rumah warga Desa Menara bergenteng beton dengan cat warna pastel.
Para pekerja kasar di Bawean, umumnya pendatang. "Karena itu mudah mengidentifikasi, mana sawah milik orang Bawean dan mana sawah milik orang Madura," tutur Baharuddin. Sawah milik warga Bawean, biasanya kotor, sedang milik warga Madura, bersih. Tidak ada orang Bawean menarik becak, atau membuka warung di kampung halaman mereka sendiri.
Ny. Asnawi, 50 tahun, misalnya. Setelah Asnawi, suaminya pensiun sebagai komandan Koramil Sangkapura, ia enggan kembali ke kampung halamannya, Probolinggo. "Langganan saya di sini sudah banyak," ujarnya kepada Mutiara di warung nasinya, di Pasar Sangkapura. Ia mengaku kerasan tinggal di Bawean. Asnawi, menurut Ny. Asnawi, kini bekerja sebagai satpam di PLTU Paiton.
Paspor Malaysia
Para perantau Bawean yang tergolong sukses itu, belakangan bukan tidak menghadapi masalah, dengan kian ketatnya peraturan yang diterapkan pemerintah Malaysia. Dan pemulangan besar-besaran TKI pun dilakukan, di samping ribuan lainnya harus meringkuk terlebih duhulu di sel-sel rumah tahanan negeri jiran itu.
Pada 3 Januari lalu, dengan menggunakan KRI Tanjung Oisiona milik TNI AL, 963 TKI dibawa pulang dari Malaysia. Di antara mereka, ada yang diusir bahkan ada yang sempat mendekam di penjara Malaysia karena dianggap pendatang gelap.
Nah, 24 orang di antara yang dipulangkan tersebut adalah warga Bawean. Semua orang Bawean menjadi terkejut. Warga Bawean gagal merantau, sejak kapan?
Kepada Mutiara, Baharuddin mengatakan, warga Bawean yang ditangkap itu kebanyakan sudah berada di bandar udara. Menjelang keberangkatan pesawat, tiba-tiba polisi Malaysia menggerebek mereka dalam operasi imigrasi, serta menangkap mereka dengan tuduhan pendatang haram.
Sebenarnya mereka ini sudah memiliki IC dan paspor Malaysia. Namun mereka hanya menunjukkan paspor Indonesia yang sudah (di)-mati-(kan), dan tidak mengaku telah memiliki IC apalagi paspor Malaysia. Salah seorang perantau muda yang ditemui Mutiara misalnya, meng-aku sengaja tidak menunjukkan IC-nya.
"Saya sebenarnya ingin tinggal di Indonesia lebih lama, sambil menunggu per-nikahan," ujar pemuda yang keberatan disebut namanya itu. Atas alasan tersebut, ia tidak menunjukkan IC-nya karena hukumannya akan lebih berat, misalnya IC itu digunting. Itu artinya ia tidak dapat kembali ke Malaysia. "Padahal setelah menikah nanti saya akan kerja di Malaysia lagi," katanya. Paspor Indonesia yang ditunjukkannya kepada petugas imigrasi Malaysia, ternyata palsu.
Foto
Memperoleh paspor Malaysia, bagi perantau Bawean bukan masalah. Mereka yang sudah lama tinggal di sana cukup menerima kiriman foto dari calon perantau, untuk diuruskan IC di Malaysia. Si calon perantau, cukup berangkat ke Malaysia dengan paspor Indonesia. Setiba di sana, paspor tersebut dimatikan. Bila tidak, untuk memperpanjang izin tinggal, urusan akan menjadi panjang dan bertele-tele.
Anak muda itu kemudian juga mengaku, penggerebekan tersebut tidak lain akibat persaingan antar-tekong, perantau Bawean menyebutnya sebagai pengawal. Maksudnya agar calon-calon perantau yang akan datang tidak lagi menggunakan jasa pengawal yang memberikan paspor yang kemudian terbukti palsu itu.
Malaysia, menurut cerita para perantau Bawean, adalah tempat yang enak untuk menjebloskan orang ke penjara. Para tekong, atau pengawal tadi saling lapor ke polisi, untuk menjatuhkan reputasi sesama pengawal. Di Bawean, terdapat tidak kurang dari 30 pengawal. (Pengawal adalah orang yang membawa warga Bawean ke Malaysia, Singapura atau negeri lainnya. Pengawal mengurus semua keperluan dan perlengkapan bahkan semua pengeluaran yang diperlukan untuk membiayai keberangkatan calon perantau Bawean ini. Kalau si perantau muda itu belum mendapat pekerjaan, atau belum menerima bayaran atas pekerjaannya karena masih baru, upah bagi jasa pengawal ditanggung oleh keluarga si perantau muda itu).
Benarkah, pemulangan para pendatang haram tersebut akan menghentikan, atau sedikitnya mengurangi perantauan besar-besaran ke negeri-negeri yang didatangi oleh perantau-perantau Bawean itu?
"Mereka ini suku perantau, jauh sebelum program TKI. Karena itu, jangan lupa, mereka mempunyai konsep tentang merantau. Tanpa diusir pun mereka akan kembali ke Bawean setelah jompo nanti. Mereka ini juga memiliki IC bahkan paspor Malaysia, dengan alasan apa mereka bisa diusir, kecuali memang ada hal-hal yang justru menguntungkan di balik pengusiran itu?" tanya Baharuddin.
Lagi pula, sebagaimana dinyatakan Nikmah dan Juhri, mungkin ribuan perantau Bawean lainnya, dengan apa periuk nasi dijerang, jalan-jalan dibuka, mesjid-mesjid didirikan, pengolahan air bersih dibangun, kalau bukan lantaran ringgit dan dolar?
- Retno
No comments:
Post a Comment