
Ini yang membedakan kami di Bawean dengan daerah lain di Jawa Timur, bahkan Indonesia. Sebab, kami menyerap hampir semua unsur budaya di tanah air," jelas Cuk Sugrito, budayawan senior Bawean, di sela-sela acara 'Semalam di Bawean', belum lama ini.
Hajatan di Taman Budaya Jatim ini menampilkan atraksi seni budaya Pulau Bawean. Di antaranya, makanan khas, jajanan, cindera mata, busana adat, nyanyian, tarian, pencak silat, hingga sastra lisan. Sedikitnya 500 orang menyaksikan pergelaran ini.
Beku Band, ben anak muda Bawean, mengawali 'Semalam di Bawean' dengan empat lagu daerah Bawean bertajuk Engak-Engak Loppa, Moang Boto, Sasak Benan, dan Mandiling. Beku Band tampil dengan sentuhan rock khas anak muda. "Kami memang sengaja membuat aransemen begini agar bisa lebih diterima pasar. Sebelumnya kami tampil lebih Melayu," jelas Ahmad Sadit, gitaris Beku Band, kepada saya.
Kendati aransemen ben yang dibentuk pada 1998 ini cukup bagus, nuansa Pulau Bawean menjadi tenggelam. Yang bertahan cuma syair lagu berbahasa Bawean plus lima personel berpakaian khas Bawean. Tontonan baru menarik ketika anak buah Cuk Sugrito menampilkan tarian serta perkusi khas Bawean.
Nuansa Melayu benar-benar kental. Ini diperlihatkan para seniman lewat pantun maupun tuturan di sepanjang lagu. Cuk Sugrito memanfaatkan panggung ini untuk memperkenalkan seni budaya serta kelebihan Bawean. Tak lupa, pria bersuara keras ini menyindir pemerintah yang sampai sekarang belum mewujudkan lapangan terbang di Bawean.
"Bapak-bapak pejabat, kami tunggu lapangan terbangnya. Masyarakat Bawean siap menerima wisatawan, tapi wisatawan religius," begitu 'pidato' Cuk Sugrito dalam tembang sederhana diiringi musik perkusi.
Seni berbalas pantun ala orang Melayu ternyata hidup juga di Bawean. Dua pasang pemuda-pemudi saling mengobral kata-kata cinta lewat tembang. Diawali pemuda, dibalas laki-laki, bertukar posisi, dan seterusnya. Atraksi ini mendapat sambutan meriah dari ratusan penonton, khususnya yang paham bahasa Bawean.
Ihwal seni budaya Bawean yang gado-gado ini, kata Ahmad Sadit, tak lepas dari asal-usul warga Bawean yang memang sangat bervariasi. Alkisah, tempo doeloe nelayan dari berbagai daerah di Nusantara memanfaatkan Bawean sebagai pulau persinggahan. Ada yang dari Sumatera, Madura, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, bahkan mungkin luar negeri. Lama kelamaan mereka memilih menetap di situ.
Dalam perjalanan waktu, terjadi interaksi antarmasyarakat yang berbeda latar belakang seni budaya. Ramuan budaya gado-gado itulah yang diterima sebagai seni budaya Pulau Bawean.
"Jadi, kalau ada yang bilang bahasanya mirip Madura, ya, bisa saja. Tapi kami masyarakat Bawean, bukan Madura. Musik kami banyak dipengaruhi irama Melayu Sumatera atau Malaysia, tapi kami tetap Bawean," tegas Ahmad Sadit.
Warga Bawean memang sangat bangga dengan kebudayaannya. Apalagi,
dipercaya mewakili Gresik dalam festival budaya tingkat Jawa Timur. Cuk Sugrito, budayawan senior Bawean, berharap pentas seni budaya Bawean di Taman Budaya menjadi awal kebangkitan seni tradisi masyarakat Jawa Timur.
"Jangan lupa, kita punya seni budaya yang tidak kalah dengan kesenian luar. Masa, seni budaya kita tidak ditampilkan," ujar Cuk Sugrito.
No comments:
Post a Comment