Duta Masyarakat
25 September 2007
Pulau Bawean berada 80 mil atau 120 km arah utara Kabupaten Gresik. Terletak sebagai daerah berbukit-bukit dengan luas + 200 km2, Pulau Bawean berbentuk agak bundar dengan rata-rata diameter 15 kilometer.
Bawean terkenal karena “ekspor” TKI ke negeri jiran, sehingga sempat pula terkenal dengan sebutan Pulau Putri. Maklum, isi pulau itu kebanyakan perempuan, karena 90 persen pria di Bawean lebih suka mencari ringgit ke luar negeri. Para TKI itu biasa berangkat melalui jasa para “pengawal”, sebagai calo atau tenaga jasa pengantar para calon tenaga kerja dari desa asal menuju negara tujuan seperti Malaysia atau Singapura.
Salah seorang yang sukses menjalankan usaha itu, yakni Haji Humaidi ( 55) yang sekarang menjadi pemilik KM Reny. Dikisahkan Zaenuddin (22), anak kelima dari enam bersaudara keluarga Humaidi, ayahnya merupakan penduduk asli Bawean yang pertama kali merintis jasa “pengawal” sebelum usaha itu menjamur. “Pertama kali Ayah menjadi pengawal, ia membawa para calon tenaga kerja menuju Malaysia atau Singapura memakai laut melewati Tanjung Pinang. Kini, para pengawal sudah biasa memakai pesawat terbang langsung ke negara tujuan,” papar Zaenuddin, yang kini ditugasi ayahnya menjadi pengawas KM Reny setiap kali kapal itu berlayar.
Zaenuddin menguraikan, rata-rata seorang pengawal mendapat keuntungan hampir Rp 1 juta dari jasa mengantar seorang calon TKI. Padahal, sekali antar ia bisa membawa belasan orang sekaligus.
Diaspora warga Bawean membuat ke negeri asing sukses mengalirkan dana ke kawasan itu. “Saya pernah mengkalkulasi, rata-rata kiriman uang dari luar negeri yang sampai ke Bawean mencapai Rp 4 miliar per bulan. Padahal, uang negara untuk membayari pegawai di sini saja tak sampai Rp 1,5 miliar,” kata Haji Syariful Mizan. Saat ditemui di toko bangunan miliknya di Pasar Sangkapura, Bawean, ia sedang melayani jasa penukaran uang. “Ya, beginilah, saya merangkap sebagai money-changer,” tutur Wakil Ketua PCNU Bawean ini.
Menurut Syariful Mizan, dalam sehari, perputaran uang di tokonya bisa mencapai Rp 20 juta. Mizan melanjutkan, di Bawean dikenal transaksi dalam lima mata uang, yakni ringgit Malaysia (RM), dolar AS, dolar Singapura, rupiah, dan koin emas khusus keluaran Amerika Serikat. Papar Mizan, TKI Bawean di Malaysia atau Singapura hampir tak pernah menemui masalah, karena tingginya kekerabatan Bawean di sana. Karena itulah, di negeri jiran sana dikenal istilah “Kerukunan Bawean Malaysia” dan “Persatuan Bawean Singapura”, sebagai komunitas warga Bawean di sana.
“Penduduk Bawean yang sukses di Malaysia menganggap di Indonesia tak ada pencerahan dan tak ada masa depan, sehingga mereka mengajak keluarganya yang lain pergi ke Malaysia,” dia menandaskan.
Soal ekonomi, Bawean memang daerah perkecualian di Indonesia. “Saat daerah-daerah lain di Indonesia mengalami krisis moneter (krisis), Bawean tidak krismon,” cerita Mizan. Ia berujar, sebagai pedagang valuta asing, pada masa krismon lima tahun lalu, pernah dalam sehari mendapat keuntungan bersih Rp 35 juta karena meningkatnya kurs mata asing terhadap rupiah secara drastis. “Sebaliknya, saat ekonomi Malaysia lesu, Bawean pun ikut lesu,” tuturnya. Seperti saat ini, kiriman devisa dari Malaysia agak seret akibat banyaknya TKI di Malaysia yang gajinya tertunda sampai setengah bulan. “Kabarnya, di Malaysia, saat ini sedang berlaku kebijakan uang ketat (tight money policy),” katanya.
Berlimpahnya kiriman uang dari luar negeri juga dipergunakan warga Bawean untuk membangun jalan desa secara swadaya, sehingga di beberapa daerah di Bawean, seperti di Desa Teluk Dalam, Kecamatan Sangkapura, dikenal ada Jalan Goh Tjok Tong, sebagai penanda jalan di situ dibuat hasil kiriman uang para TKI dari Singapura; Jalan Mahathir Mohamad, sebagai perkampungan yang mayoritas lelakinya bekerja sebagai TKI dan Malaysia; dan Jalan Christmas, karena sebagian besar penduduknya bekerja di Australia. Untuk diketahui saja, kata Mizan, penduduk Bawean di Australia juga cukup banyak. “Merekalah yang pertama kali membuka masjid di Pulau Christmas, Australia,” dia menandaskan. Untuk jalan antardesa yang dibangun pemerintah, warga Bawean menyebutnya sebagai Jalan Suharto.
Inovasi di Bawean memang selalu laku. Jangankan telepon (ada 5.000 sambungan telepon rumah di Bawean saat ini), listrik (ada 9.000 sambungan PLN di Bawean saat ini), atau ponsel, saat ini Bawean sedang giat menuju pembangunan lapangan terbang. Mereka merasa jarak 11 jam perjalanan laut ke Gresik terlalu jauh. “Kalau ada pesawat, pasti laku. Ongkos tak jadi masalah di sini,” kata Haji Syariful Mizan, tokoh masyarakat Bawean.
Prinsipnya, Bawean benar-benar a lonely beautiful and very friendly island. Suasananya seperti Aceh, tapi masyarakatnya sangat “Malaysia”. Logat yang dipakai pun sering logat Melayu, maklum karena hampir setiap keluarga di sana memiliki famili di Malaysia atau Singapura. Jadi, bagi mereka, jalan-jalan ke dua negara yang seperti “kampung halaman” (backyard) sendiri itu bukan hal asing. (*)
25 September 2007
Pulau Bawean berada 80 mil atau 120 km arah utara Kabupaten Gresik. Terletak sebagai daerah berbukit-bukit dengan luas + 200 km2, Pulau Bawean berbentuk agak bundar dengan rata-rata diameter 15 kilometer.
Bawean terkenal karena “ekspor” TKI ke negeri jiran, sehingga sempat pula terkenal dengan sebutan Pulau Putri. Maklum, isi pulau itu kebanyakan perempuan, karena 90 persen pria di Bawean lebih suka mencari ringgit ke luar negeri. Para TKI itu biasa berangkat melalui jasa para “pengawal”, sebagai calo atau tenaga jasa pengantar para calon tenaga kerja dari desa asal menuju negara tujuan seperti Malaysia atau Singapura.
Salah seorang yang sukses menjalankan usaha itu, yakni Haji Humaidi ( 55) yang sekarang menjadi pemilik KM Reny. Dikisahkan Zaenuddin (22), anak kelima dari enam bersaudara keluarga Humaidi, ayahnya merupakan penduduk asli Bawean yang pertama kali merintis jasa “pengawal” sebelum usaha itu menjamur. “Pertama kali Ayah menjadi pengawal, ia membawa para calon tenaga kerja menuju Malaysia atau Singapura memakai laut melewati Tanjung Pinang. Kini, para pengawal sudah biasa memakai pesawat terbang langsung ke negara tujuan,” papar Zaenuddin, yang kini ditugasi ayahnya menjadi pengawas KM Reny setiap kali kapal itu berlayar.
Zaenuddin menguraikan, rata-rata seorang pengawal mendapat keuntungan hampir Rp 1 juta dari jasa mengantar seorang calon TKI. Padahal, sekali antar ia bisa membawa belasan orang sekaligus.
Diaspora warga Bawean membuat ke negeri asing sukses mengalirkan dana ke kawasan itu. “Saya pernah mengkalkulasi, rata-rata kiriman uang dari luar negeri yang sampai ke Bawean mencapai Rp 4 miliar per bulan. Padahal, uang negara untuk membayari pegawai di sini saja tak sampai Rp 1,5 miliar,” kata Haji Syariful Mizan. Saat ditemui di toko bangunan miliknya di Pasar Sangkapura, Bawean, ia sedang melayani jasa penukaran uang. “Ya, beginilah, saya merangkap sebagai money-changer,” tutur Wakil Ketua PCNU Bawean ini.
Menurut Syariful Mizan, dalam sehari, perputaran uang di tokonya bisa mencapai Rp 20 juta. Mizan melanjutkan, di Bawean dikenal transaksi dalam lima mata uang, yakni ringgit Malaysia (RM), dolar AS, dolar Singapura, rupiah, dan koin emas khusus keluaran Amerika Serikat. Papar Mizan, TKI Bawean di Malaysia atau Singapura hampir tak pernah menemui masalah, karena tingginya kekerabatan Bawean di sana. Karena itulah, di negeri jiran sana dikenal istilah “Kerukunan Bawean Malaysia” dan “Persatuan Bawean Singapura”, sebagai komunitas warga Bawean di sana.
“Penduduk Bawean yang sukses di Malaysia menganggap di Indonesia tak ada pencerahan dan tak ada masa depan, sehingga mereka mengajak keluarganya yang lain pergi ke Malaysia,” dia menandaskan.
Soal ekonomi, Bawean memang daerah perkecualian di Indonesia. “Saat daerah-daerah lain di Indonesia mengalami krisis moneter (krisis), Bawean tidak krismon,” cerita Mizan. Ia berujar, sebagai pedagang valuta asing, pada masa krismon lima tahun lalu, pernah dalam sehari mendapat keuntungan bersih Rp 35 juta karena meningkatnya kurs mata asing terhadap rupiah secara drastis. “Sebaliknya, saat ekonomi Malaysia lesu, Bawean pun ikut lesu,” tuturnya. Seperti saat ini, kiriman devisa dari Malaysia agak seret akibat banyaknya TKI di Malaysia yang gajinya tertunda sampai setengah bulan. “Kabarnya, di Malaysia, saat ini sedang berlaku kebijakan uang ketat (tight money policy),” katanya.
Berlimpahnya kiriman uang dari luar negeri juga dipergunakan warga Bawean untuk membangun jalan desa secara swadaya, sehingga di beberapa daerah di Bawean, seperti di Desa Teluk Dalam, Kecamatan Sangkapura, dikenal ada Jalan Goh Tjok Tong, sebagai penanda jalan di situ dibuat hasil kiriman uang para TKI dari Singapura; Jalan Mahathir Mohamad, sebagai perkampungan yang mayoritas lelakinya bekerja sebagai TKI dan Malaysia; dan Jalan Christmas, karena sebagian besar penduduknya bekerja di Australia. Untuk diketahui saja, kata Mizan, penduduk Bawean di Australia juga cukup banyak. “Merekalah yang pertama kali membuka masjid di Pulau Christmas, Australia,” dia menandaskan. Untuk jalan antardesa yang dibangun pemerintah, warga Bawean menyebutnya sebagai Jalan Suharto.
Inovasi di Bawean memang selalu laku. Jangankan telepon (ada 5.000 sambungan telepon rumah di Bawean saat ini), listrik (ada 9.000 sambungan PLN di Bawean saat ini), atau ponsel, saat ini Bawean sedang giat menuju pembangunan lapangan terbang. Mereka merasa jarak 11 jam perjalanan laut ke Gresik terlalu jauh. “Kalau ada pesawat, pasti laku. Ongkos tak jadi masalah di sini,” kata Haji Syariful Mizan, tokoh masyarakat Bawean.
Prinsipnya, Bawean benar-benar a lonely beautiful and very friendly island. Suasananya seperti Aceh, tapi masyarakatnya sangat “Malaysia”. Logat yang dipakai pun sering logat Melayu, maklum karena hampir setiap keluarga di sana memiliki famili di Malaysia atau Singapura. Jadi, bagi mereka, jalan-jalan ke dua negara yang seperti “kampung halaman” (backyard) sendiri itu bukan hal asing. (*)
No comments:
Post a Comment